Bisnis.com, JAKARTA - Inflasi global telah mendorong banyak negara menaikkan suku bunga. Apalagi, bank sentral AS, the FED, sudah menaikkan 75 basis poin (bps), angka tertinggi setelah 1994.
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai, daripada menaikkan suku bunga di tengah lemahnya daya beli masyarakat, ada hal lain yang perlu dipersiapkan Bank Indonesia (BI) guna mengatasi pelemahan Rupiah.
Menurut dia, BI perlu membuat channel-channel intervensi baru dimana setiap asing melepaskan Surat Utang Negara (SUN) nya, BI bisa membeli SUN tersebut.
Ini dalam rangka menjaga nilai Rupiah tetap terkendali dan terakumulasi, agar SUN tersebut dikuasai oleh entitas dalam negeri.
Sehingga jika sudah terakumulasi, SUN tersebut bisa digunakan sebagai alat kebijakan moneter yang berbiaya rendah.
"Jadi disarankan agar BI tetap mempertahankan level suku bunganya yaitu BI7DR 3,5 persen," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/6/2022).
Lebih lanjut dia menuturkan, BI perlu mempersiapkan diri untuk membeli SUN dan lebih jauh bisa dibuatkan aturan baru agar BI bisa membeli saham korporasi, sehingga saham-saham yang dilepas oleh asing bisa diakumulasi sekuritas korporasi tersebut.
"Bank sentral lain seperti seperti Bank of Japan, The FED dan BOE sudah bisa membeli sekuritas dari korporat. Di Indonesia hal tersebut belum pernah dilakukan," ungkap dia.
BI dinilai harus bisa membeli sekuritas dari korporat, dengan catatan saham tersebut termasuk blue chip dan memiliki rating yang baik.
Artinya, saham-saham yang terkenal tak akan bangkrut. Saham-saham BUMN seperti Telkomsel atau bank-bank BUMN dapat dibeli oleh BI apabila asing melepas kepemilikan saham tersebut.
Oleh karena itu, menurut dia, kebijakan yang tepat saat ini bukan dengan menaikkan suku bunga lantaran itu akan menjadi beban langsung publik. Sebab, menaikkan suku bunga membuat suku bunga kredit, KPR, investasi, modal kerja akan naik sehingga menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan memberatkan entitas-entitas ekonomi domestik di Indonesia.
Di lain sisi, utang luar negeri swasta pada April 2022 mencapai US$210,23 miliar. Ini terdiri dari utang luar negeri (ULN) BUMN sebesar US$57,79 miliar dan utang non BUMN sebesar US$152,44 miliar.
Adapun porsi ULN BUMN menurun 27,49 persen sejak Desember 2021. Namun nilai porsinya meningkat selama beberapa tahun terakhir.
Apabila BI menaikkan suku bunganya, maka swasta/non BUMN juga akan mendapatkan masalah, lantaran mereka akan membayar dengan bunga yang tinggi.
"Dengan the FED menaikan suku bunganya swasta sudah suffering. Dan mereka bisa jadi me-refinancing mencari utang-utang yang lebih murah. Dan disini seharusnya negara hadir dengan tetap mempertahankan suku bunga yang sekarang untuk menggiatkan roda perekonomian," jelas Achmad.