Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menetapkan pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e). Berdasarkan hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, nilai tersebut terlalu rendah.
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN Haruni Krisnawati mengatakan bahwa dari sisi kehutanan, biaya restorasi yang dibutuhkan sangat besar. Selain itu ada risiko yang harus dihadapi.
“Estimasi rata-rata restorasi adalah US$1.866 per hektar. Ini merupakan skenario yang paling rendah,” katanya pada diskusi virtual, Senin (20/6/2022).
Berdasarkan temuan tersebut Haruni menjelaskan bahwa tarif karbon yang diberlakukan masih terlalu rendah. Pajak tersebut bahkan belum layak diterapkan di sektor kehutanan.
Akan tetapi Haruni menghargai pajak karbon akan digunakan sebagai alat kontrol untuk sistem pungutan yang berkeadilan. Hal tersebut tidak hanya untuk mengubah perilaku konsumen namun juga produsen penyumbang emisi karbon tinggi.
“Pemerintah harus menjadikan skema pajak karbon ini sebagai instrumen untuk menekan emisi,” jelasnya.
Baca Juga
Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler Organisasi Riset Tata Kelola Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat BRIN Nugroho Adi Sasongko mengatakan bahwa tarif Rp30 per Kg CO2e mengacu pada pengalaman uji coba perdagangan karbon sektor energi, yaitu di subsektor pembangkit listrik tenaga uap batu (PLTU) bara.
Besaran tersebut merupakan pengalaman uji coba sampai September tahun lalu. Setidaknya ada 28 transaksi yang dibukukan.
Di situ, transaksi yang dihasilkan sebesar Rp1,2 miliar. Apabila dihitung, tambah Nugroho, sama dengan Rp28.938 per ton CO2e atau Rp28,4 per Kg CO2e.
Sedangkan jika dibandingkan dengan mekanismer perdagangan lain seperti planvivo di hutan desa beberapa daerah, nilainya US$14 per ton CO2e. Sedangkan pada uji coba PLTU jika dijadikan kurs dolar hanya US$2 per ton CO2e.
“Jadi harga pajak karbon ini jauh di bawah harga pasar di sektor kehutanan,” katanya.