Bisnis.com, JAKARTA - Dalam 5 tahun terakhir (sejak 2016) pertumbuhan bisnis financial technology (fintech) mengalami pertumbuhan pesat. Paolo Sironi (2016) mendefinisikan fintech adalah teknologi baru dan inovasi yang dibuat untuk menciptakan lanskap keuangan yang lebih baik bagi konsumen dan investor atau secara sederhana dalam masyarakat dikenal sebagai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, meskipun ‘pinjam-meminjam’ uang sebenarnya hanya merupakan bagian dari bisnis fintech itu sendiri.
Di Indonesia bisnis fintech pertama kali dilegalkan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi, meskipun sebelum berlakunya POJK tersebut, praktik pinjam meminjam uang berbasis teknologi telah ada dalam masyarakat.
Jika merunut lahirnya POJK No. 77/2016 maka POJK tersebut lahir karena adanya kekosongan hukum yang ada di dalam masyarakat atas maraknya praktik layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Kala itu bisnis fintech di Indonesia secara hukum persis menyerupai utang-piutang privat dalam masyarakat karena tidak menempatkan pemerintah sebagai pengawas dalam bisnis fintech, bahkan kala sebelum berlakunya POJK No. 77/2016 dalam memberikan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi tidak terintegrasi dengan sistem layanan informasi kreditur (SLIK) untuk mengetahui kelayakan debitur untuk memperoleh pinjaman.
Tanpa adanya keterlibatan pemerintah akibatnya kala itu klaim konsumen fintech atas kerugian pada transaksi layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi sangat tinggi.
Mengacu pada banyaknya persoalan dan daftar inventarisir masalah (DIM), maka saat ini pemerintah sedang mempersiapkan revisi POJK No. 77/2016. Revisi POJK tersebut sangatlah diperlukan mengingat bisnis fintech baik di Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia selain memiliki pertumbuhan yang menjanjikan juga masih memiliki peluang pengembangan yang bagus.
Baca Juga
Keberadaan fintech di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat baik. Hal ini didukung dengan bonus demografi, pertumbuhan kelas menengah, dan pertumbuhan yang signifikan dari pengguna perangkat cerdas (smart gadget) serta Internet of Things (IoT) yang menjadi dasar untuk melakukan akses pada layanan fintech.
Dalam waktu dekat jika revisi POJK No. 77/2016 disahkan maka bisnis layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi akan mengalami transformasi yang signifikan. Jika mengacu pada draft terakhir revisi POJK No. 77/2016 (RPOJK) dan jika dibaca dengan perspektif economic analysis of law maka RPOJK tersebut sesungguhnya memberi peluang yang lebih besar kepada pemain lokal jika dibandingkan pemain internasional, hal ini terlihat dalam RPOJK Pasal 3 diatur batasan pemegang saham/investor asing hanya dapat berinvestasi melalui bursa sedangkan pemegang saham/investor dalam negeri terbuka bagi semua opsi termasuk crowdfunding.
Jika RPOJK ini disahkan, diprediksi akan terdapat banyak merger dan akuisisi khususnya terjadi pada perusahaan fintech dengan modal dan likuiditas minimalis, pasalnya dalam Pasal 4 RPOJK dipersyaratkan perubahan terkait modal disetor yakni Rp15 miliar dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
Berikutnya, draft aturan baru RPOJK ini memperkuat aspek tata kelola yakni tata kelola penyaluran pinjaman dan tata kelola manajemen. Pada tata kelola penyaluran pinjaman terlihat perubahannya dalam Pasal 7 RPOJK tersebut diatur mengenai ambang batas (threshold) bagi pemberian pinjaman yaitu maksimal 25 persen dari total dana yang disalurkan pada tahun berjalan. Kondisi yang sama yakni maksimal 25 persen dari total dana yang disalurkan pada tahun berjalan bagi pinjaman untuk pemegang saham maupun pihak yang terafiliasi.
Sedangkan upaya perbaikan tata kelola manajemen nampak pada Pasal 11—25 RPOJK tersebut adalah adanya jumlah direksi dan komisaris yakni minimal 3 orang, dan dalam RPOJK tersebut dipersyaratkan harus lulus fit and proper test oleh OJK. Demikian juga dalam kaitannya dengan peningkatan kualifikasi manajemen pengelola maka dalam RPOJK tersebut dipersyaratkan direksi, komisaris, dan pejabat yang berjenjang satu tingkat di bawah direksi wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko teknologi finansial.
Guna memberikan perlindungan konsumen maka setelah diberlakukan RPOJK tersebut direncanakan akan dibuat lembaga pemeringkatan perusahaan fintech berdasarkan kinerja dan kepatuhannya sehingga masyarakat akan memiliki panduan pada saat akan berinvestasi maupun mengajukan pinjaman pada perusahaan fintech.
Terakhir dalam RPOJK Pasal 92—104 mengatur mengenai penguatan pada aspek perlindungan konsumen yakni khususnya persoalan perlindungan data pribadi dan penggunaan data pribadi dalam rangka penagihan serta transparansi dalam hal penagihan dan diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa.
Pada akhirnya dengan disahkannya RPOJK ini maka bisnis berbasis fintech akan dapat berkembang dengan memberi layanan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pengguna.