Bisnis.com, JAKARTA — Kesepakatan untuk menyelamatkan Garuda Indonesia dari jurang kebangkrutan menjadi kabar baik bagi maskapai tersebut. Di sisi lain, industri aviasi di Indonesia makin menantang seiring dengan perebutan kue penumpang angkutan udara.
Nasib Garuda dan industri aviasi lainnya diulas secara komprehensif Bisnisindonesia.id. Selain itu, sejumlah isu turut menjadi sorotan mulai dari permintaan rumah yang berdampak akibat kenaikan PPN 1 persen hingga pemerintah ditantang tekan defisit.
Berikut highlight Bisnisindonesia.id, Selasa (26/4/2022) :
Nasib Garuda dan Kian Menantangnya Industri Aviasi
Kesepakatan untuk menyelamatkan Garuda Indonesia dari jurang kebangkrutan menjadi kabar baik bagi maskapai tersebut. Di sisi lain, industri aviasi di Indonesia makin menantang seiring dengan perebutan kue penumpang angkutan udara.
Mereka setidaknya berebut kue 41 juta penumpang sepanjang 2022. Meski terbilang lebih kecil dibandingkan masa normal, akan tetapi jumlah ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 2021 dengan total 30,7 juta penumpang.
Sejak corona meluas, gelombang pemutusan hak kerja maupun upaya merumahkan karyawan dilakukan perusahaan penerbangan untuk menekan pengeluaran. Kondisi ini sejalan dengan tengkurapnya bisnis transportasi udara akibat kehilangan jumlah penumpang. Lalu bagaimana nasib Garuda dan industri aviasi lainnya?
Menakar Dampak Kenaikan PPN 1 Persen Terhadap Permintaan Hunian
Tahun 2022 menjadi tahun yang diharapkan sebagai tahun keberuntungan bagi sektor properti khususnya untuk residensial meski Pandemi Covid-19 masih melanda. Terlebih tahun ini pemerintah pun kembali memberikan stimulus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 50 persen meski lebih kecil besaran diskonnya dari tahun lalu yang mencapai 100 persen.
Tahun lalu, para pengembang meraup cuan permintaan hunian terutama rumah tapak dari berkah pemberian stimulus PPN DTP. Namun demikian, harapan para pengembang sedikit sirna di tahun ini.
Selain karena besaran insentif PPN DTP yang lebih kecil dari tahun lalu, per 1 April 2022, pemerintah pun menaikkan pajak PPN sebesar 1 persen menjadi 11 persen yang tentu berdampak pada properti. Kenaikan PPN 1 persen ini merupakan kebijakan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Lalu bagaimana dampaknya pada permintaan residensial?
Momen Lebaran dan Daya Ungkit Bagi Pembiayaan Multiguna
Momentum peningkatan daya beli masyarakat selama Ramadan dan Lebaran dapat menjadi angin segar untuk perusahaan pembiayaan (multifinance) pemain kredit digital dan bayar tunda (BNPL/paylater).
Bulan Ramadan identik dengan peningkatan aktivitas konsumsi. Seiring dengan itu, biasanya permintaan masyarakat terhadap kredit konsumsi pun akan turut meningkat. Ditambah lagi dengan adanya izin mudik tahun ini, gairah konsumsi dipastikan bakal melejit.
Sejumlah pemain pembiayaan sudah mengantisipasi hal tersebut dengan menghadirkan produk maupun kampanye promosi terbaru untuk meraup berkah momentum Hari Raya tahun ini.
Selain bakal meningkatkan permintaan kredit, hal ini juga diharapkan dapat mendorong aktivitas transaksi nasabah, sehingga dapat menebalkan pendapatan. Apalagi, hal tersebut didukung oleh kondisi perekonomian nasional yang lebih baik ketimbang periode pandemi. Bagaimana strategi pemain multifiance untuk untuk memacu permintaan kredit multiguna selama Ramadan guna mencetak keuntungan?
Kans Besar Indeks Bisnis-27 Konsisten Ungguli IHSG
Perombakan ulang daftar konstituen indeks Bisnis-27 yang mengganti posisi delapan emiten bakal memberikan amunisi baru bagi indeks hasil kerja sama antara Harian Bisnis Indonesia dan Bursa Efek Indonesia tersebut, setelah sepanjang tahun ini sukses mengungguli IHSG.
Berdasarkan pengumuman BEI, ada delapan saham yang masuk dan keluar sebagai konstituen Indeks Bisnis-27. Hasil evaluasi ini berlaku efektif mulai 9 Mei 2022 dan efektif pada Mei 2022 hingga Oktober 2022.
Kedelapan saham baru yang masuk dalam daftar Indeks Bisnis-27 yakni PT BFI Finance Indonesia Tbk. (BFIN), PT Medikaloka Hermina Tbk. (HEAL), PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF). Bagaimana efek pergantian konstituen ini terhadap kinerja indeks ini pada sisa tahun ini?
Pemerintah Ditantang Tekan Defisit Fiskal Di Bawah 1 Persen
Pemerintah ditantang untuk bisa menekan defisit fiskal hingga di bawah 1 persen. Hal itu dinilai sebagai hal penting demi keberlangsungan perekonomian Indonesia di masa depan.
Ekonom senior Pusat Belajar Rakyat Awalil Rizky menilai bahwa defisit APBN selama ini terlalu tinggi, terlebih saat memasuki pandemi Covid-19. Indonesia mestinya dapat menekan defisit hingga 1 persen, bahkan ketika kondisi ekspansif.
Seperti diketahui, terkait strategi penyusunan APBN, selama ini Indonesia menganut kebijakan anggaran berimbang.Berdasar keterangan di laman berkas.dpr.go.id, kebijakan anggaran seimbang adalah kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan cara mengendalikan pembelanjaan dan pendapatan yang berimbang (sama-sama besar).
Pemerintah mengendalikan jumlah pembelanjaan tidak boleh lebih besar dari pada jumlah pendapatan dan jumlah pendapatan juga tidak lebih besar dari pada jumlah penerimaan. Hal tersebut akan dapat menguntungkan bagi negara karena pemerintah tidak perlu utang kepada pihak lain. Bagaimana upaya pemerintah menekan defisit fiskal di bawah 1%?