Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setelah PPN Naik, Beranikah Sri Mulyani Pajaki E-commerce?

Dengan nilai transaksi e-commerce tahun ini berpotensi tumbuh 31,2 persen menjadi Rp526 triliun, ada potensi PPN senilai RP57 triliun jika dikenakan tarif pajak 11 persen.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam acara Launching Simbara dan Penandatanganan MoU Sistem Informasi Terintegrasi dari Kegiatan Usaha Hulu Migas yang diadakan secara virtual, Selasa (8/3/2022)/Bisnis-Ni Luh Angela
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam acara Launching Simbara dan Penandatanganan MoU Sistem Informasi Terintegrasi dari Kegiatan Usaha Hulu Migas yang diadakan secara virtual, Selasa (8/3/2022)/Bisnis-Ni Luh Angela

Bisnis.com, JAKARTA — Upaya reformasi perpajakan telah berjalan, di antaranya dengan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 11 persen dan pemberlakuan sejumlah aturan turunannya. Setelah kebijakan besar itu, pengenaan pajak terhadap transaksi dagang el atau e-commerce perlu dipertimbangkan.

Pandemi Covid-19 semakin menyuburkan pertumbuhan bisnis e-commerce di Indonesia, sejalan dengan meningkatnya adaptasi digital di masyarakat. Bagaimana tidak, tuntutan untuk tetap "di rumah aja" membuat masyarakat semakin memanfaatkan e-commerce untuk berbelanja.

Tingginya perputaran uang di sana berarti banyak pula potensi pajaknya. Bank Indonesia mencatat bahwa nilai transaksi e-commerce pada 2021 mencapai Rp401 triliun, sehingga dengan asumsi tarif PPN 10 persen yang berlaku tahun lalu, terdapat potensi PPN sekitar Rp40 triliun dari seluruh transaksi.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bahkan menyebut bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun ini berpotensi tumbuh 31,2 persen menjadi Rp526 triliun. Artinya, dengan asumsi tarif baru yang berlaku yakni 11 persen, potensi perolehan PPN bisa mencapai Rp57 triliun—jika transaksi itu dipajaki.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa pemajakan terhadap transaksi e-commerce memang perlu. Pemerintah perlu mengingat adanya peralihan di sisi pelaku usaha, dari brick and mortar atau konvensional ke digital, dan pasca pandemi sifatnya permanen.

"Maka dibutuhkan sebuah mekanisme efektif untuk mengatasi hal tersebut. Pemerintah dapat menggunakan tarif PPN final, berbeda dengan tarif PPN normal demi simplifikasi atau kemudahan administrasi, tetapi besarannya didesain agar tak menyebabkan distorsi antara saluran konvensional dan digital," ujar Fajry kepada Bisnis, Jumat (8/4/2022).

Melalui aturan turunan terkait PPN, Fajry menilai bahwa pemerintah baru membuka ruang pemungutan PPN terhadap jasa dari luar negeri, belum termasuk e-commerce lokal. Padahal, selama pandemi kenaikan belanja domestik secara digital meningkat pesat.

Fajry menjelaskan bahwa Inggris pun sedang menggodok mekanisme marketplace sebagai pemungut PPN atas transaksi domestik. Indonesia perlu mengadopsi langkah serupa karena konsumsi dalam negeri yang tinggi.

Menurutnya, langkah menjadikan perusahaan marketplace sebagai pemungut PPN pernah muncul beberapa tahun lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Namun, aturan itu tak bertahan lama karena dicabut.

Fajry menilai bahwa pencabutan PMK itu sarat unsur politik, karena aturan pengenaan pajak terbit menjelang masa pemilihan umum. Padahal, dia menilai bahwa menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak tidak mengubah nilai atau mekanisme harga yang ada.

"Sebenarnya dari ketidaktahuan publik saja, jadi publik melihatnya apa-apa dipajaki, padahal hanya mengubah mekanisme administrasinya saja [pajak yang asalnya dibayar penjual menjadi dipungut dan dibayarkan e-commerce]," katanya.

Adanya agenda besar dari Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menurut Fajry, menjadi momentum yang tepat untuk mendorong e-commerce sebagai pemungut pajak. Terlebih, saat ini teknologi sudah jauh berkembang, sehingga pendataan dan pencatatan akan lebih efisien.

"Sekarang dengan ada agenda UU HPP, landasan hukumnya menjadi lebih kuat. Harus tahun ini [didorong], kalau tidak nanti dibawa ke ranah politik lagi karena lebih dekat ke pemilu," ujar Fajry.

Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro, Rami Ramdana, dan Drewya Cinantyan melihat hal serupa, bahwa pemerintah cukup agresif dalam memperluas daftar barang kena pajak. Kenaikan tarif PPN berpotensi menambah penerimaan pajak Rp60 triliun atau 0,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Ketiganya menilai bahwa pemerintah melakukan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti mengenakan pajak pada sektor ekonomi baru. Bahana menilai bahwa berdasarkan langkah itu, pengenaan pajak digital atas transaksi e-commerce dan biaya transportasi online akan segera menyusul.

"Kenaikan PPN menargetkan sektor-sektor dengan pertumbuhan tinggi seperti komoditas dan transaksi digital, yang menyiratkan potensi pendapatan yang kuat pada tahun-tahun mendatang," tulis Putera, Rami, dan Drewya dalam risetnya, dikutip pada Jumat (8/4/2022).

Kepala Sub Direktorat PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Bonarsius Sipayungmenjelaskan bahwa pihaknya memang telah memiliki rencana untuk menjadikan e-commerce sebagai pemungut PPN.

Menurutnya, berbagai pihak seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) terus mengingatkan Ditjen Pajak bahwa belum terdapat pengaturan pajak yang solid terhadap ekonomi digital di Indonesia. Penjualan barang secara daring (online) maupun luring (offline) tidak semata-mata menghilangkan aspek pajak.

"Rencananya, akan kami atur, karena ini masalah penegasan saja, karena mereka memang terutang. Dengan aturan yang saat ini mungkin [penjual] bisa menghindar, tetapi kalau marketplace menjadi pemungut PPN, tidak bisa menghindar [untuk menyetorkan PPN]. Ini suatu pekerjaan rumah bagi Ditjen Pajak," ujar Bonar pada Rabu (6/4/2022).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper