Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan pemerintah mempertahankan harga Pertalite dianggap solusi tepat dalam jangka pendek, namun tidak tepat diterapkan dalam jangka panjang. Mengapa?
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan strategi pemerintah menetapkan harga BBM mempertimbangkan daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat pandemi Covid-19.
Untuk menjaga inflasi domestik tetap rendah, dan agar daya beli masyarakat terjaga, menurutnya, tepat bila pemerintah menjaga harga BBM dengan RON 90 ini.
“Kami menilai, dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahunnya harus terus disubsidi,” ujar Joshua, dalam keterangan tertulis.
Dengan terjaganya harga Pertalite, diperkirakan konsumsi masyarakat akan meningkat. Asumsi tersebut tampak terlihat dari realisasi konsumsi dua tahun terakhir.
Sepanjang 2021, konsumsi Pertalite mencapai 23 juta Kilo Liter (KL), atau naik 30 persen dibandingkan dengan 2020 yang tercatat 18 juta KL.
Baca Juga
Menurutnya, pemberian subsidi BBM yang diberikan tiap tahunnya dianggap kontraproduktif terhadap anggaran negara. Pasalnya, subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi tersebut cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Di sisi lain, pemberian subsidi juga membuka disparitas harga yang tinggi.
Sebelumnya, dalam podcast series Talks yang ditayangkan di channel youtube Bisniscom, ekonom lulusan Universitas Indonesia ini, menyebut kenaikan harga minyak global membuat defisit neraca migas melebar.
"Berdasarkan hitung-hitungan kami, kalau kita lihat, dengan asumsi brent rata-rata dalam level $95 per barel tahun ini, dan rupiah Rp14.350 per dolar AS, dan juga 32 juta kilo liter, ada tambahan subsidi energi dari pertalite dan kompensasi Pertamax sebesar Rp258 triliun," ujarnya.
Sementara itu, dengan beban anggaran yang dihasilkan dari pembengkakan subsidi dan kompensasi BBM serta LPG ini, akan ditutupi dari penerimaan negara.
"Kalau berdasarkan sensitivitas APBN, setiap US$1 perubahan dari asumsi untuk ICP, dari sisi penerimaan juga kita meningkat, misal dari PNBP, dan lainnya," katanya.
Di sela Sidang Senat Terbuka dalam Dies Natalis ke-46 UNS di Surakarta, Jumat (11/3/2022), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengakui tidak mudah mengelola APBN keuangan negara dalam situasi yang luar biasa ini.
Bila sebelumnya dunia dihadapkan pada disrupsi kronis akibat revolusi industri 4.0 membuat banyak negara kelabakan. Kemudian, pandemi yang tidak terduga datang menghantam.
Saat ini, perang Rusia - Ukrania menambah ketidakpastian global.
"Kelangkaan energi, sekarang semua negara mengalami. Ditambah perang, harga naik berkali lipat. Semua negara harga jualnya ke masyarakat sudah naik juga. Kita di sini masih nahan-nahan. Bu Menteri [Keuangan] saya tanya gimana Bu, tahannya sampai berapa hari ini kita nahan-nahan terus?" ujar Jokowi.