Bisnis.com, NUSA DUA — Ketimpangan akses terhadap vaksin masih terjadi, baik secara global maupun di dalam negeri ketika pandemi Covid-19 memasuki tahun ketiga. Negara anggota G20 dinilai perlu berperan lebih besar dalam pengentasan ketimpangan itu.
Representative of C20 Working Group Vaccine Access and Global Health Lutfiyah Hanim menjelaskan bahwa negara-negara maju memiliki capaian vaksinasi yang jauh lebih tinggi dari negara-negara berkembang. Bahkan, kawasan Eropa dan Amerika Utara memiliki tingkat vaksinasi yang jauh dari kawasan Afrika.
Lutfiyah menjelaskan bahwa Uni Eropa memiliki lebih banyak vaksin daripada yang sebenarnya mereka butuhkan. Total stok vaksin Covid-19 di kawasan itu setara dengan 3,5 dosis vaksin bagi setiap orang.
Amerika Serikat memiliki stok vaksin setara dengan 3,7 dosis vaksin per orang, lalu Inggris Raya memiliki stok setara 5,5 dosis vaksin per orang. Tak heran jika negara-negara maju itu terus mendorong booster, karena stok vaksinnya memenuhi penyuntikan minimal dua dosis.
“[Stok vaksin di] Kanada setara 9,6 dosis per orang, sedangkan stok di Uni Afrika hanya 0,2 dosis, jauh dari yang diperlukan. Kurang lebih 45 negara cakupan vaksin dosis pertamanya masih di bawah 30 persen, beberapa negara bahkan masih di bawah 10 persen,” ujar Lutfiyah pada Selasa (8/3/2022).
Ketimpangan akses terhadap vaksin menjadi persoalan serius dalam upaya global dalam menangani pandemi Covid-19. Namun, masalah tersebut sangat struktural sehingga menurut Lutfiyah perlu ada intervensi dan koordinasi secara global, misalnya melalui G20.
Dia yang juga merupakan Sekretaris Dewan Indonesia for Global Justice (IGJ) menjelaskan bahwa masyarakat global bertujuan agar semua negara yang memiliki kemampuan manufaktur terkait Covid-19 bisa memproduksi dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Kemandirian negara-negara berkembang dan miskin dalam memenuhi kebutuhan vaksin, obat-obatan, alat pelindung diri (APD), atau alat kesehatan lainnya terkait Covid-19 dapat terjadi misalnya melalui transfer teknologi atau pembiayaan dari negara maju. Sayang, hal tersebut belum terjadi.
Lutfiyah menilai bahwa negara-negara maju G20 justru ‘menentang’ usaha itu. Mereka yang memiliki sumber daya dan kapital untuk memproduksi vaksin, misalnya, menilai bahwa tupoksi pembahasan distribusi dan pemerataan vaksin ada di World Trade Organization (WTO), bukan di G20.
Padahal, menurut Lutfiyah, political will negara-negara maju di G20 adalah kunci untuk bisa mendorong ketimpangan akses terhadap vaksin dan instrumen lain dalam penanganan Covid-19. Dukungan dari negara maju jangan hanya berupa komitmen, tetapi perlu berupa langkah nyata.
“Negara-negara berkembang dan miskin harus lari ke Multilateral Development Bank [MDB] untuk bisa membeli vaksin. Beberapa negara berutang ke International Monetary Fund [IMF] untuk bisa membeli vaksin. Banyak yang bisa dilakukan G20 tetapi mereka tidak mau melakukannya,” kata Lutfiyah.