Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2021 menjadi saksi sejarah munculnya titik kritis baru dari industri kelapa sawit. Indonesia adalah produsen dan eksportir terbesar kelapa sawit, jauh meninggalkan Malaysia.
Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia diperkirakan 53 juta ton, naik 3 persen dari 51,5 juta ton pada 2020. Produksi CPO tahun ini diperkirakan terus naik meski tidak setinggi 2021, karena ekspansi lahan kelapa sawit baru nyaris terhenti.
Indonesia terus melanjutkan kebijakan moratorium perizinan penambahan areal sawit baru, utamanya yang berasal dari konversi hutan alam dan areal bergambut. Peningkatan produksi CPO lebih banyak didorong peningkatan produktivitas, termasuk dari kebun-kebun sawit rakyat, karena harga tinggi menjadi insentif penting bagi peningkatan produksi dan produktivitas.
Kenaikan harga CPO di pasar global di atas US$1.300/ton tidak terlalu disambut baik untuk jangka menengah-panjang. Secara historis, tiga gelombang kenaikan harga CPO yang terjadi dalam dua dekade terakhir semuanya berhubungan dengan krisis ekonomi, yaitu pada 2008 dan 2011.
Saat ini berhubungan dengan resesi ekonomi global, karena pandemi Covid-19 dan semakin tingginya permintaan terhadap bahan bakar nabati biofuels.
Bagaimana prospek industri kelapa sawit 2022? Secara umum masih cukup cerah tapi tantangannya berubah. Harga CPO masih tetap tinggi di atas US$1.000/ton tapi komitmen transisi energi Indonesia sangat memengaruhinya.
Baca Juga
Dampak kenaikan harga CPO mulai berimbas ke beberapa sektor. Harga eceran minyak goreng dalam negeri melonjak tinggi dan menjadi kontributor utama peningkatan laju inflasi di banyak daerah. Harga eceran minyak goreng kemasan bermerek menembus Rp20.000/kg, rekor anomali kenaikan harga, karena Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia.
Pada awal pandemi Covid-19, harga CPO global turun signifikan karena sistem logistik terganggu. Indonesia memilih kebijakan menggenjot pembangunan biofuels B-30. Hasilnya, alokasi CPO untuk industri biofuel domestik meningkat pesat. Harga CPO naik signifikan sejak Agustus 2020. Kenaikan harga minyak goreng menjadi penyumbang laju inflasi terbesar di seluruh provinsi Sumatera, kecuali di Bengkulu.
Kenaikan harga minyak goreng terkompensasi dengan stabilnya harga-harga barang kebutuhan pokok gula dan beras. Kenaikan harga CPO juga berdampak signifikan terhadap kinerja peremajaan sawit rakyat (PSR). Realisasi PSR per 22 Desember 2021 hanya 38.032 hektare (ha), sangat jauh dari target 180.000 ha, bahkan terendah dalam 3 tahun terakhir.
Dengan harga tandan buah segar (TBS) yang sangat tinggi sampai Rp3.000/kg, Setidaknya, biaya peremajaan sawit mencapai Rp60—Rp70 juta/ha, tergantung pada lokasi kebun dan kompleksitas permasalahan sosial-ekonominya.
Pada 2019 dan 2020, realisasi peremajaan sawit rakyat mencapai 90.207 ha dan 94.033 ha, karena beberapa penyederhanaan prosedur, partisipasi koperasi dan masyarakat serta kerja sama dengan sektor swasta yang akan menjadi pembeli (off-taker) dari produksi TBS dari kebun petani.
Presidensi Indonesia di G20 menjadi etalase penting bagi komitmen industri sawit secara berkelanjutan. Adapun pada 2022 Indonesia akan mengandalkan strategi intensifikasi dan efisiensi pengolahan sawit atau hilirisasi, baik untuk pangan maupun bahan bakar nabati atau biofuel.
Tantangan industri sawit berubah menjadi peningkatan produktivitas, efisiensi industri dan diversifikasi produk hilir untuk pangan, biofuel dan kebutuhan rumah tangga lain. Indonesia akan serius dalam menerapkan sertifikasi berkelanjutan di tingkat global (Roundtable Sustainable Palm Oil/RSPO) dan International Sustainability and Carbon Certification/ISCC) yang bersifat sukarela dan sertifikasi berkelanjutan tingkat nasional (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO) yang bersifat wajib.
Pembangunan keunggulan keberlanjutan akan mewarnai perjalanan strategi peningkatan daya saing industri sawit. Selain sistem pangan tangguh dan berkelanjutan di G20, Indonesia juga berkomitmen melakukan transisi energi. Program pengembangan biofuels B-30 adalah salah satu manifestasi dari komitmen transisi energi tersebut.
Permintaan biodiesel (dari CPO) diperkirakan naik 2,4% sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional. Permintaan bioavtur atau sustainable aviation fuel (SAF) diperkirakan naik 24,6 persen, menyusul sukses Pertamina uji coba Bioavtur J2.4 palm-based SAF yang berhasil baik.
Tantangan baru bagi industri sawit adalah perumusan strategi alokasi CPO dan produk turunannya ke depan, terutama alokasi energi versus pangan dan kebutuhan rumah tangga. Tantangan jangka pendek energi berbasis fosil versus berbasis nabati (CPO dan biomassa) adalah tingkat efisiensi atau harga keekonomian CPO versus minyak bumi.
Kampanye positif tentang peran industri sawit pada ekonomi, pengembangan wilayah, pengentasan kemiskinan dan lainnya perlu lebih gencar dilaksanakan agar efektif dan tepat sasaran. Uni Eropa (dan banyak negara lain) sebenarnya sangat butuh CPO Indonesia, karena pertumbuhan industri pangan dan energi yang cukup pesat.
Perkembangan gugatan Indonesia ke WTO perlu terus dipantau berikut strategi komunikasi dan diplomasi ekonomi CPO di tingkat global.