Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investasi Jumbo EBT, Pemerintah Jangan Anggap Beban

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta pemerintah untuk tidak menganggap kebutuhan pendanaan pada energi baru terbarukan (EBT) sebagai beban, melainkan investasi.
Presiden Joko Widodo mengamati turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Abriawan Abhe
Presiden Joko Widodo mengamati turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Abriawan Abhe

Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta pemerintah untuk tidak menganggap kebutuhan pendanaan pada energi baru terbarukan (EBT) sebagai beban, melainkan investasi.

Dia menyebutkan bahwa kebutuhan investasi pada pengembangan energi terbarukan mencapai US$25 miliar hingga US$35 miliar, atau setara dengan Rp350 triliun hingga Rp490 triliun per tahun sampai dengan 2030 nanti.

Kebutuhan itu kemudian meningkat US$45 miliar hingga US$60 miliar atau setara Rp630 triliun hingga Rp840 triliun setelah 2030 sampai 2050. Taksiran tersebut berdasarkan laporkan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022.

Dia meminta pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan tidak menjadikan taksiran tersebut sebagai beban baru bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Akan tetapi, pemerintah harus melihatnya sebagai investasi masa depan.

“Ini sebenarnya menjadi penting karena ini investasi, bukan biaya, bukan beban. Kalau konsep Kementerian Keuangan [menganggap] ini beban baru,” katanya saat konferensi pers, Senin (20/12/2021).

Lebih lanjut, dia menjelaskan, pengembangan energi terbarukan tidak hanya perihal pendanaan. Fabby menyarankan agar pemerintah setidaknya dapat memberikan karpet merah untuk investor di sektor energi terbarukan.

Pertama, pemerintah dapat memetakan lahan tertentu yang dapat dijadikan area pemasangan PLT EBT. Sebagai contoh, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) memerlukan setidaknya 1 hektare untuk mengembangkan pembangkit sekitar 1 megawatt (MW).

Kedua, mengembangkan proyek-proyek yang menyikapi perubahan iklim, sekaligus memanfaatkan potensi pembangkit terbarukan, seperti laut atau samudra. Indonesia saat ini sama sekali belum memiliki pembangkit dari sumber daya alam tersebut.

Pembangkit energi samudra atau laut, misalnya disebut memiliki potensi 60 gigawatt (GW). Pengembangannya dinilai dapat bermanfaat bagi masyarakat di kepulauan terpencil dengan akses listrik minim.

Ketiga, menggunakan anggaran untuk menyiapkan regulasi agar bisa menekan risiko dari pembangkit energi terbarukkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rayful Mudassir
Editor : Lili Sunardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper