Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nilai ROI Perdagangan Karbon Bisa Capai US$15 Miliar per Tahun

Kemendag menyebut nilai ROI perdagangan karbon bisa capai US$15 Miliar per tahun.
Asap membubung dari cerobong-cerobong asap sebuah pabrik pemanas di Jilin, China/Reuters
Asap membubung dari cerobong-cerobong asap sebuah pabrik pemanas di Jilin, China/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan balik modal (return of investment/ROI) dari investasi Indonesia pada perdagangan karbon dapat mencapai US$10 miliar hingga US$15 miliar setiap tahunnya. Torehan perdagangan karbon itu mendekati realisasi nilai ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang mencapai rata-rata US$20 miliar per tahun.

Tenaga Ahli Kementerian Perdagangan Barry Beagen mengatakan potensi pendapatan dari pengembangan perdagangan karbon itu dapat diraih jika Indonesia mampu memaksimalkan kualitas serapan gas buang dalam negeri.

“Kalau dikelola itu bisa menyumbang likuiditas karbon kredit terbesar di dunia, beberapa studi menyatakan jika kita memanfaatkan ini semua, kita bisa mencapai US$10 miliar hingga US$15 miliar return of investment per tahun bisa dibandingkan dengan ekspor kelapa sawit yang US$20-an miliar,” kata Barry saat memberi keterangan dalam seri diskusi ‘Indonesia Carbon Forum’ secara daring, Rabu (1/12/2021).

Adapun perhitungan balik modal dari investasi perdagangan karbon itu menggunakan nilai harga karbon yang saat ini berada di kisaran US$5 per ton. Di sisi lain, kata dia, nilai harga karbon itu bervariasi tergantung dengan kualitas serapan emisi gas buang suatu negara.

“Seperti di Australia harganya bisa lebih dari US$30 per ton, semua karbon itu tidak sama, carbon credit itu harus dikembangkan secara berkualitas,” kata dia.

Sementara itu, dia mengatakan, kementeriannya tengah menyusun sejumlah skenario untuk mengoptimalkan keuntungan dari perdagangan karbon dengan sejumlah negara. Kendati demikian, Kementerian Perdagangan tengah mendorong pemerintah untuk mengembangkan kualitas credit carbon yang berkualitas untuk bersaing dengan negara lain.

“Kita sedang mengkaji strategi dagangnya dulu, investasi sebaiknya di mana credit dari proyek apa, yang sebaiknya diekspor apa, ini sebenarnya isu impor ekspor atau exchange goods and services lebih dari pembangunan pasar dulu,” kata dia.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menilai bahwa Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa terkait perubahan iklim edisi ke-26 atau COP26 merupakan momentum bagi Indonesia untuk menarik investasi hijau sebesar mungkin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper