Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia berisiko kehilangan nilai ekspor sekitar US$1,7 miliar akibat implementasi aturan pungutan emisi karbon dari pasar Inggris dan Eropa setiap tahunnya.
Proyeksi itu disampaikan Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Tirta Karma Senjaya saat memberi pidato kunci dalam seri diskusi ‘Indonesia Carbon Forum’ secara daring, Rabu (1/12/2021).
Kebijakan pungutan emisi karbon itu sudah diimplementasikan oleh Inggris lewat Environment Act 2021 dan Uni Eropa mengeluarkan Proposal for a regulation on deforestation-free products. Kedua kebijakan itu mempersyaratkan pungutan emisi karbon kepada komoditas kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao, dan kopi, termasuk produk turunan seperti coklat, produk kulit, dan furniture.
“Dalam skema perdagangan internasional terkait dengan pengurangan emisi karbon sangat erat kaitannya dengan mitra dagang Indonesia di luar negeri yang mempersyaratkan pungutan emisi karbon sebagai standar yang mesti dipenuhi,” kata Tirta.
Dengan demikian, kata Tirta, eksportir dalam negeri terancam kehilangan pasar internasional jika tidak mampu memenuhi standar nihil gas buang tersebut. Apabila Indonesia tidak segera menyiapkan mitigasi atas risiko ekspor itu maka potensi perdagangan yang raib dari pasar Inggris mencapai US$141 juta sementara pasar Uni Eropa sebesar US$1,5 miliar.
“Dampak bagi Indonesia jika tidak melakukan corresponding adjustment dalam mitigasi risiko ini adalah penurunan ekspor yang nilainya mencapai US$1,5 miliar per tahun,” kata dia.
Adapun, Kementerian Perdagangan tengah menyusun harmonisasi perdagangan internasional dan domestik untuk dapat memenuhi standar nol emisi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menilai bahwa Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa terkait perubahan iklim edisi ke-26 atau COP26 merupakan momentum bagi Indonesia untuk menarik investasi hijau sebesar mungkin.
Masyita menilai bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan, energi, transportasi sebesar 650 Mton CO2e dan 398 Mton CO2e dengan bantuan pendanaan internasional. Oleh karena itu, gelaran COP26 merupakan momentum Indonesia untuk menjadi negara destinasi green investment.
“Perubahan iklim sangat berdampak kepada seluruh masyarakat dunia sehingga perlu dilakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Namun pada prinsipnya transisi yang dilakukan haruslah transisi yang just dan affordable,” ujar Masyita pada Selasa (2/11/2021).
Masyita menilai bahwa negara-negara maju harus mewujudkan janji mereka dalam Long-term Finance (LTF) untuk memobilisasi setidaknya US$100 miliar dalam pendanaan iklim per tahun pada 2020 kepada negara berkembang dan kurang berkembang, dalam transisi dan mencapai target iklim mereka. LTF merupakan janji negara-negara maju yang tertuang dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Dalam menghindari perubahan iklim, Indonesia telah melakukan berbagai upaya di antaranya menginisiasi sistem penganggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama 2016–2019, rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim sebesar Rp86,7 triliun per tahun dan rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim di APBN mencapai 4,1 persen per tahun.