Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyatakan dukungannya terhadap rencana pemerintah untuk menekan emisi gas rumah kaca. Pun begitu, asosiasi meminta eksekutif tetap memperhatikan keberlangsungan tambang batu bara ke depan.
Sekretaris Jenderal APBI Haryanto Damanik mengatakan bahwa sektor batu bara menjadi perhatian dunia usai penyelenggaraan COP26 di Glasgow, Skotlandia, beberapa waktu lalu. Bahkan, isu menghapus pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara ikut mencuat.
“APBI mendukung upaya pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, perlu diperhatikan kembang dan dikaji dampak perubahan iklim terhadap keberlangsungan tambang batu bara,” katanya saat webinar Dampak Perubahan Iklim Terhadap Batu Bara, Rabu (1/12/2021).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, cadangan batu bara di Indonesia mencapai 144 miliar ton, dan 39 miliar ton potensi cadangan lainnya. Dari temuan itu, diperkirakan batu bara masih akan tersedia hingga 70 tahun ke depan.
Proyeksi tersebut berdasarkan rerata produksi batu bara dalam negeri mencapai 566 juta ton dengan serapan untuk kebutuhan domestik sekitar 132 juta ton. Sepanjang 2021, pemerintah memasang target produksi 625 juta ton dengan kebutuhan domestik 137,5 juta ton.
Selain itu, berdasarkan minerba one data Indonesia (MODI), realisasi penerimaan negara dari sektor minerba mencapai Rp65,55 triliun. Angka itu setara 167,64 persen dari target semula Rp39,10 triliun. APBI menyebut, sekitar Rp52 triliun di antaranya disumbang sektor batu bara.
Baca Juga
Dari fakta tersebut, lanjutnya, APBI meminta pemerintah terus mempertimbangkan kepastian investasi dan keekonomian untuk pertambangan batu bara.
Di sisi lain, Haryanto menyebut, perusahaan di bawah asosiasi tersebut telah melakukan pengelolaan lingkungan. Beberapa di antaranya seperti pemanfaatan biofuel sebagai bahan bakar operasional, penggunaan energi terbarukan pada mes karyawan, serta reklamasi di area pascatambang.
Pada 2020, lanjutnya, perusahaan batu bara telah melakukan reklamasi pada area seluas 9.730 hektare. Angka tersebut melebihi target sekitar 7.000 hektare.
“Pelaku industri berupaya menggunakan teknologi ultra critical, sehingga menggunakan energi lebih efisien, teknologi yang sudah digunakan di negara berkembang lainnya,” ujarnya.