Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan memperkirakan kebutuhan investasi terhadap pengembangan energi baru terbarukan (EBT) mencapai Rp3.300 triliun hingga Rp3.500 triliun untuk mencapai karbon netral di 2060.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengatakan bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara pengurangan emisi dan biaya untuk mengurangi emisi.
“Kebutuhan [pendanaan] untuk energi dan transportasi mencapai Rp3.300 triliun, atau 95,5 persen dari total mitigasi,” katanya saat webinar Indo EBTKe Conex 2021, Rabu (24/11/2021).
Sementara itu, menurutnya, dalam survei lain energi dan transportasi membutuhkan Rp3.500 triliun, atau 92,6 persen dari total kebutuhan pendanaan mitigasi.
Dalam menekan emisi karbon, pemerintah menempuh sejumlah jalan seperti pengembangan EBT, pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pemanfaatan kompor induksi/listrik, hingga penerapan teknologi hijau pada PLTU seperti biomassa dan co-firing.
Sebab itu, kebijakan fiskal terkait perubahan iklim diarahkan untuk mengoptimalkan pendanaan yang ada. Selain itu, pemerintah perlu mobilisasi pendanaan di luar APBN, baik pendanaan domestik maupun internasional.
Baca Juga
Guna mendapatkan investasi domestik, Kementerian Keuangan melakukan optimalisasi fungsi dan dukungan APBN dalam proyek hijau. Target itu sekaligus membuat dana APBN sebagai katalisator untuk menarik investasi perubahan iklim.
Masyita menilai bahwa keterlibatan swasta perlu digeber agar masuk dan terlibat dalam berbagai proyek hijau di Indonesia.
Pemerintah juga bekerja sama secara bilateral maupun multilateral, seperti Green Climate Fund hingga Global environment Facility.
“Saat ini Kementerian Keuangan sedang menyusun yang kita sebut sebagai climate change fiscal framework [CCFF]. Ini disusun untuk merumuskan opsi kebijakan fiskal dan strategi mobilisasi pendanaan perubahan iklim yang lebih menyeluruh, komprehensif, dan terarah,” terangnya.