Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bahana Sekuritas: Ada Risiko Pergeseran Inflasi dari Produsen ke Konsumen

Berdasarkan data IHP kuartal III/2021, kenaikan tertinggi inflasi produsen terjadi di sektor manufaktur dan pertanian, masing-masing mencapai 3,05 persen dan 4,03 persen. Kedua sektor itu mencatatkan kontribusi terbesar terhadap perekonomian.
Petugas SPBU di Kota Palembang mengisi BBM kendaraan. istimewa
Petugas SPBU di Kota Palembang mengisi BBM kendaraan. istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — PT Bahana Sekuritas menilai bahwa terdapat risiko terpendam kenaikan inflasi seiring adanya selisih cukup besar antara indeks harga di sisi produsen dan konsumen. Hal tersebut berpotensi mendorong inflasi tahunan pada 2022 maksimal ke 2,5 persen.

Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan tim menilai bahwa indeks harga konsumen (IHK) seringkali menjadi tolok ukur utama inflasi. Menurut Bahana, penting untuk mencermati inflasi dari sisi produsen, yakni indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan indeks harga produsen (IHP).

Pada kuartal III/2021, IHK berada di angka 1,6 persen (year-on-year/YoY). Menurut Bahana Sekuritas, angka itu terbilang rendah dibandingkan dengan IHPB seniai 2,8 persen (YoY) dan IHP di angka 7,25 persen (YoY).

Secara rinci, berdasarkan data IHP kuartal III/2021, kenaikan tertinggi inflasi produsen terjadi di sektor manufaktur dan pertanian, masing-masing mencapai 3,05 persen dan 4,03 persen. Kedua sektor itu mencatatkan kontribusi terbesar terhadap perekonomian.

"Kami melihat potensi inflasi berpindah dari produsen ke konsumen, seiring pulihnya permintaan secara agregat yang menawarkan peluang bagi industri untuk menaikkan harga dan memulihkan margin keuntungan," tulis Satria dan tim dalam risetnya, dikutip pada Kamis (11/11/2021).

Menurut Bahana Sekuritas, kesenjangan inflasi antara IHP dan IHP menunjukkan bahwa produsen menanggung kenaikan biaya produksi sejauh ini, bukan oleh konsumen. Konsumen sendiri masih sangat sensitif terhadap kenaikan harga karena masih terpukul oleh dampak pandemi Covid-19, sehingga produsen menahan kenaikan harga untuk mempertahankan volume penjualan.

Pada saat yang sama, meningkatnya tren digitalisasi, khususnya adopsi e-commerce yang meluas telah meningkatkan persaingan dan transparansi harga di antara para produsen. Menurut Bahana Sekuritas, hal tersebut menunjukkankan adanya risiko inflasi yang terpendam karena produsen mengejar kenaikan harga.

"Setelah melihat margin mereka memburuk pada tahun lalu, produsen mungkin segera memiliki dorongan untuk segera menaikkan harga, karena pemulihan ekonomi berjalan secara bertahap bersamaan dengan dengan kenaikan di sisi penawaran," tertulis dalam riset itu.

Meskipun terdapat risiko, Bahana Sekuritas menilai bahwa sebagian besar komponen IHP mungkin tidak secara langsung dan signifikan mempengaruhi tingkat IHP.

Ketiga ekonom itu menilai bahwa jika terjadi perpindahan inflasi ke konsumen, dampaknya mendorong inflasi tahunan menjadi maksimal hanya 2,5 persen pada 2022.

"Inflasi itu adalah tingkat yang menjaga Bank Indonesia tetap dalam posisi nyaman untuk menahan suku bunga rendah lebih lama, meskipun bank sentral lainnya melakukan pengetatan," tertulis dalam riset tersebut.

Bahana Sekuritas menilai bahwa di tengah gelombang inflasi global, Indonesia tetap menjadi salah satu dari sedikit negara berkembang yang menerapkan kebijakan moneter longgar, berkat inflasi domestik yang lunak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper