Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bawah isu pemulihan yang tidak merata akan menjadi isu utama yang diangkat di bawah presidensi Indonesia dalam forum G20.
Bendahara negara mengatakan bahwa kondisi pemulihan saat ini tidak merata, atau disebut asinkron (asynchronous), di mana di sebagian negara pemulihan berlangsung pesat, dan di sebagian lainnya berjalan dengan lambat.
"Kondisi asinkron ini yaitu di mana negara-negara maju menunjukkan pemulihan yang lebih cepat, sedangkan negara berkembang dan berpendapatan rendah melambat serta tertinggal di belakang," jelas Sri Mulyani pada webinar "International Conference on Resilient and Sustainable Economic Recovery Road to Indonesia G20 Presidency 2022", Kamis (11/11/2021).
Sri Mulyani mengatakan kondisi inilah yang saat ini dunia saksikan. Kondisi tersebut juga bisa berimplikasi secara signifikan pada koordinasi kebijakan pemimpin dunia.
Salah satu contohnya adalah kondisi lonjakan inflasi yang terjadi di sejumlah negara. Lonjakan kenaikan harga pada akhirnya menyebabkan para otoritas dan pembuat kebijakan perlu menyesuaikan kebijakan ekonomi mereka. Di sisi lain, sejumlah negara masih harus menghadapi kontraksi ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan.
Baca Juga
"Ini akan menjadi salah satu highlight terpenting di bawah Presidensi G20 oleh Indonesia. Bagaimana koordinasi global bisa ditetapkan pada saat pemulihan ekonomi yang asinkron, sehingga membutuhkan dukungan kebijakan yang berbeda," tegas Sri Mulyani.
Pada forum yang merepresentasikan perekonomian dunia terbesar ini, Sri Mulyani juga akan membahas perancangan kebijakan untuk melanjutkan proses pemulihan, dengan menghindari penarikan stimulus atau bantuan lebih dini atau prematur. Hal tersebut akan dibahas dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara anggota lainnya.
Sri Mulyani, yang akan memimpin Finance Track Presidensi G20 Indonesia nanti, turut menegaskan bahwa forum akan terus waspada terhadap sejumlah tantangan yan mengemuka akhir-akhir ini, seperti lonjakan inflasi, harga komoditas tinggi, dan disrupsi rantai pasok.