Melihat kebiasaan Presiden Joko Widodo, agaknya sukar untuk tidak membayangkan bahwa penggunaan pesawat Garuda Indonesia menuju forum bergengsi internasional KTT G20 tidak memiliki makna simbolis.
Seolah Presiden ingin menyampaikan sesuatu dengan masih digunakannya Garuda Indonesia di tengah polemik yang muncul. Bukan soal persoalan teknis penerbangan semata.
Sebagai maskapai penerbangan, posisi Garuda sebetulnya sangat strategis. Namun, berbagai kasus yang dialaminya menimbulkan keraguan tentang bagaimana harus menyikapi maskapai ini. Kasus arbitrase di The London Court of International Arbitration (LCIA) paling tidak menjadi salah satu alarm bagi kita.
Sebagai sebuah perkara arbitrase, maka tidak ada upaya hukum. Paling tidak, jika kita merujuk pada Pasal 60 UU Arbitrase, sebuah putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Oleh karena itu, bagaimana cara menepati putusan arbitrase internasional tersebut akan menjadi sebuah pertanda kredibilitas Garuda ke depannya.
Putusan arbitrase internasional semacam itu hanya dapat dibatalkan karena sebab-sebab tertentu saja. Paling tidak, berdasarkan Pasal 30 UU Arbitrase, hal itu bisa diajukan jika terhadap dokumen yang sifatnya menentukan yang dijadikan bukti selama persidangan arbitrase ternyata palsu atau ada yang disembunyikan. Selain itu adanya tipu muslihat selama pemeriksaan sengketa juga dapat menjadi alasan pembatalan.
Namun, upaya pembatalan ini tidak sama dengan upaya banding atau kasasi yang biasa kita kenal di pengadilan kita. Upaya pembatalan tersebut merupakan sebuah bentuk upaya hukum luar biasa. Menempuh opsi ini kita perlu hati-hati.
Jika tanpa sebab dan bukti yang kuat dan meminta pembatalan putusan arbitrase internasional, citra Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan praktek arbitrase akan terciderai.
Kekalahan Garuda pada forum arbitrase LCIA berikut beban-beban yang sudah ada selama ini sesungguhnya menimbulkan dilema terhadap eksistensinya. Perdagangan sahamnya di bursa efek telah disuspensi. Di sisi lain ada aspek sentimental yang mewarnai, yaitu rasa nasionalisme dan kebanggaan terhadap adanya sebuah maskapai penerbangan nasional.
Lalu, apakah yang sebetulnya menjadi prioritas kita? Apakah yang penting adalah Garuda sebagai sebuah korporasi atau Garuda sebagai sebuah brand? Jika jawaban kita adalah yang pertama maka tidak ada opsi kepailitan dalam skenario ini.
Artinya, semua utang harus bisa dilunasi. Semua kewajiban harus dapat ditepati. Jika secara bisnis tidak feasible, pertolongan tangan dari pemerintah untuk melakukan bail out terhadap Garuda adalah sebuah keniscayaan.
Namun, pemerintah harus siap menggelontorkan dana di tengah simpang siurnya potensi hukum soal kerugian negara di negara kita. Bila jawaban kita adalah Garuda sebagai sebuah brand, kita bisa tega untuk membiarkan Garuda dari perspektif korporasi untuk pailit.
Dengan cara ini, negara tidak perlu melakukan bailout dan membiarkan Garuda Indonesia secara ksatria menempuh pranata yang disediakan hukum untuk menyelesaikan persoalannya, termasuk kepailitan bila diperlukan.
Nantinya, Garuda sebagai sebuah brand dapat dijual kepada korporasi yang lebih sehat yang memang dikendalikan pemerintah. Dengan cara ini, persoalan Garuda sebagai sebuah korporasi dapat selesai tetapi sebagai sebuah brand yang menjadi kebanggaan nasional bisa tetap eksis. Uang yang didapat dari penjualan brand dapat digunakan untuk membayar kreditor. Sebuah win-win solution.
Strategi kuncinya adalah dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dilihat sebagai akal-akalan. Jika tidak, ada mekanisme actio pauliana yang bisa membatalkan jual beli merek tersebut. Apalagi, jika penjualan itu dilakukan paling tidak setahun sebelum putusan pailit. Jadi, pemerintah perlu memastikan bahwa harga jual merek tersebut adalah harga yang baik dan wajar yang nantinya tidak merugikan kreditor.
Dengan cara ini, pemerintah tinggal memastikan bahwa perusahaan baru itu kelak benar-benar dikelola secara proper, sehingga tidak mengulangi kesalahan masa silam. Perusahaan baru ini harus mampu mengelola conflict of interest secara baik dan menjaga kinerja agar menghasilkan keuntungan.
Kita tidak boleh lupa bahwa maskapai ini adalah hasil nasionalisasi untuk mencapai sebuah cita-cita idealisme berbangsa. Di awal sebelum perpindahan ke Indonesia, NV. Garuda Indonesia Airways yang mejadi cikal bakal Garuda yang kita kenal saat ini masih tetap membukukan profit. Utilitas pesawat tinggi, bahkan pada 1953—1954 mampu melakukan modernisasi (Wicaksono, 2016).
Kini kondisinya malah tertatih. Ada sebuah tanggung jawab moral yang harus diberikan bangsa ini. Jangan sampai, keraguan banyak pihak di awal kemerdekaan bahwa sebenarnya bangsa kita ini tidak siap merdeka dan tidak siap mengelola kekayaannya adalah sebuah kebenaran. Ini jauh lebih berat dan memiliki konsekuensi yang hakiki dibanding dengan soal komersial semata.
Menyelamatkan Garuda di satu sisi adalah sebuah tantangan dari aspek komersial, yaitu bagaimana mematahkan mitos bahwa perusahaan yang dikelola oleh negara pasti merugi. Namun, tak kalah penting adalah soal pertanggungjawaban sejarah.