Bisnis.com, JAKARTA - Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) ke-26 di Glasgow Skotlandia (1-12 November), fokus utama para pemimpin negara, ilmuwan, dan petinggi bisnis adalah bagaimana pemangku kepentingan dapat berkolaborasi untuk mendanai dan mengimplementasikan target pengurangan emisi dalam mengatasi perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Secara global, UNEP memperkirakan setidaknya dibutuhkan USD 100 miliar untuk pendanaan iklim. Presiden Joko Widodo menjelaskan Indonesia memiliki potensi alam yang begitu besar dan terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
“Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?” tegasnya
Diskusi lanjutan pun digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia yang menghadirkan sejumlah pemimpin bisnis. Fokus diskusi adalah bagaimana bisnis dapat memimpin upaya bersama menuju ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Bertajuk ‘Becoming the World’s Leader in Green Economy: Leading in NDC Implementation’, sesi ini dipimpin oleh Alue Dohong, Wakil Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan dihadiri oleh para pemimpin bisnis antara lain dari Pertamina, Royal Golden Eagle, dan KADIN.
Alue mengatakan dalam pidato utamanya bahwa pemerintah telah mencanangkan target "Indonesia Folu Net Sink 2030", untuk mencapai komitmen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) pada 2030.
Dalam NDC, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% secara mandiri, atau 41% dengan bantuan internasional, pada tahun 2030. Sektor kehutanan dan pengunaan lahan lainnya (FOLU) diyakini akan berkontribusi hingga 60% dari total target penurunan emisi yang ingin diraih Indonesia.
“Untuk mencapai target penurunan emisi GRK ini, pemerintah menyadari bahwa dukungan dari semua pemangku kepentingan sangat penting, terutama dari sektor swasta dan perusahaan milik negara (BUMN),” katanya.
Alue menyoroti Laporan Ekonomi Hijau UNEP yang mengatakan penerapan konsep ekonomi hijau harus berlangsung secara efektif dan adil, memastikan transisi yang adil ke ekonomi rendah karbon, sumber daya yang efisien dan inklusif secara sosial.
Foto: dok. APRIL
“Peran sektor swasta harus mencakup penanganan adaptasi masyarakat yang rentan dan berkontribusi pada perencanaan pengembangan dan implementasi strategi adaptasi iklim melalui keahlian sektor khusus misalnya melalui pembiayaan, efisiensi teknologi, dan kewirausahaan,” katanya.
Anderson Tanoto, Managing Director Royal Golden Eagle, yang mengelola grup perusahaan berbasis sumber daya alam, berbicara tentang pengalaman APRIL Group yang telah berinvestasi dalam beberapa tahun terakhir untuk mendukung mitigasi iklim dan pembangunan berkelanjutan.
APRIL merupakan unit usaha dibawah RGE, yang memproduksi serat, pulp dan kertas berlokasi di Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau. APRIL diketahui sebagai salah satu produsen pulp dan kertas terbesar di Asia yang dikenal dengan produk kertas flagship PaperOne yang telah terjual ke 70 negara.
Sebagai bentuk komitmen APRIL dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dan program prioritas pemerintah, APRIL meluncurkan visi APRIL2030 pada akhir tahun lalu yang salah satu fokusnya untuk membantu pengurangan emisi dan mengatasi perubahan iklim.
Pada tahun 2030, Grup APRIL telah berkomitmen mencapai emisi nol karbon bersih dari penggunaan lahan dan mengurangi intensitas produksi karbon hingga 25 persen. Perusahaan juga berkomitmen untuk mencapai net zero loss di kawasan hutan yang dilindungi di seluruh operasinya di provinsi Riau, di Sumatera
“Salah satu upaya nyata kami adalah dengan penggunaan panel surya (solar panel) sebagai energi terbarukan untuk menggerakkan pabrik. Saat ini, kami telah menyelesaikan instalasi 1 MW di area operasional kami," ujarnya.
Pada 2025, pemasangan panel surya berkapasitas 20 MW akan rampung dan diperkirakan akan menjadi instalasi panel surya terbesar yang diinisiasi swasta di Indonesia.
Anderson melanjutkan bahwa kunci lain untuk mengatasi perubahan iklim adalah perlindungan dan restorasi hutan. Dia menyoroti dampak positif dari program restorasi ekosistem hutan di lahan gambut yang diinisiasi Grup APRIL, Restorasi Ekosistem Riau (RER). Kawasan RER mencakup 150.000 hektar hutan lahan gambut di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, yang luasnya setara dengan wilayah London.
“Keanekaragaman hayati sangat penting. Kita tidak bisa hanya melihat karbon tanpa keanekaragaman hayati dan keanekaragaman hayati tanpa karbon. Kedua elemen ini harus berdampingan. Kami percaya RER adalah proyek restorasi yang menggabungkan dua elemen ini bersama-sama,” katanya.
Grup APRIL juga mendukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam mengembangkan pembibitan modern di Rumpin, Bogor, Jawa Barat. Setelah beroperasi penuh, nantinya pembibitan akan menyediakan 12 juta bibit untuk upaya reboisasi dan restorasi nasional Indonesia, terutama di daerah rawan bencana.
APRIL bekerja sama dengan pemerintah melalui Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) di mana perusahaan akan memberikan pengetahuan dan transfer knowledge dalam mengelola pembibitan modern skala besar, mirip dengan fasilitasnya nursery yang dimiliki perusahaan di Riau yang dikunjungi oleh Presiden Jokowi di Riau tahun lalu.
“Kami berharap KPBU ini dapat menjadi awal dari banyak kemitraan lainnya dengan Pemerintah, tidak hanya untuk APRIL tetapi juga untuk operasi sektor swasta lainnya”, ujarnya.
Sesi ini juga menunjukkan bagaimana sektor swasta Indonesia bersiap menghadapi tantangan dan peluang yang mungkin muncul dari perubahan iklim.
“Dengan kolaborasi yang kuat antara sektor publik dan swasta serta pihak internasional, kita dapat membangun ekonomi hijau yang tangguh untuk masa depan Indonesia,” kata Arsjad Rasjid, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Arsjad mengatakan pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia dapat menghasilkan potensi penciptaan nilai hingga USD200-250 miliar di beberapa bidang, seperti bio-ekonomi, energi terbarukan dan pengelolaan limbah.