Bisnis.com, JAKARTA – Larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang kembali diwacanakan pemerintah dikhawatirkan akan mengerek harga di pasar domestik dan merugikan pelaku di sektor hulu.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, selama ini harga di pasar global menjadi pembanding tarif di dalam negeri.
Seandainya larangan ekspor diberlakukan, pembanding menjadi hilang, sehingga harga domestik berpeluang naik.
“Sekarang kan terbuka harga ekspor, harga di dalam negeri juga terbuka. Jadi ada pembandingnya. Kalau nanti kita tidak tahu, berapa yang harus diterapkan, ini malah jadi backfire dan merugikan di sektor hulunya,” kata Andry kepada Bisnis, Senin (25/10/2021).
Dia juga menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo untuk menyetop pengapalan CPO merupakan langkah yang ekstrem.
Menurutnya, untuk sampai pada keputusan tersebut, pemerintah harus banyak berdiskusi dengan pelaku usaha agar upaya itu tidak menjadi bumerang bagi industri dalam negeri.
Baca Juga
Upaya penghiliran industri kelapa sawit, kata dia, telah banyak terdorong kebijakan insentif pungutan ekspor yang terdiri atas tarif pungutan dana perkebunan dan tarif bea keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan.
“Sudah ada beberapa kebijakan yang pada akhirnya memaksa CPO untuk penghiliran. Saya rasa Presiden perlu melihat secara matang, baik dari pelaku industri dan kebijakan pemerintah yang sudah ada saat ini,” katanya.
Berdasarkan data dari sejumlah asosiasi perkelapasawitan, total produksi CPO pada tahun lalu mencapai 51,58 juta ton, di mana sebanyak 34 juta ton (66 persen) diekspor, dan 17,34 juta ton (34 persen) terserap di dalam negeri.
Dari volume yang diekspor, pengapalan dalam bentuk CPO dan CPKO sejumlah 9 juta ton (26,47 persen), sedangkan produk olahan dan makanan sebesar 21,10 juta ton (62,05 persen), serta oleokimia sebesar 3,87 juta ton (11,38 persen).