Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disepakati menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021–2022, Kamis (7/10/2021).
Dengan mempertimbangkan daya beli dan pemulihan ekonomi, UU HPP ini menetapkan kenaikan tarif PPN secara bertahap yaitu 11 persen yang mulai berlaku pada 1 April 2022 dan 12 persen yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Lantas, bagaimana dampaknya bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu?
Seperti diketahui, pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Hal itu tertuang dalam Pasal 3A, UU No. 42/ 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).
Sementara menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, pengusaha kecil adalah yang peredaran brutonya tidak lebih dari Rp4,8 miliar selama satu tahun buku.
Baca Juga
Dalam kenyataannya, banyak pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP meskipun peredaran usahanya kurang dari Rp4,8 miliar.
Kendati begitu, PKP yang peredaran usahanya dalam satu tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dalam menghitung jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yaitu sebesar 60 persen dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau 70 persen dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP).
Dengan kata lain, PKP yang masuk kategori tersebut hanya menyetor 4 persen atas penyerahan JKP dan 3 persen atas penyerahan BKP.
Adapun dalam UU PPN, PKP secara umum wajib memungut PPN dengan tarif 10 persen.
Sementara itu, dengan hadirnya UU HPP yang mengamanahkan kenaikan tarif PPN secara bertahap, pemerintah menegaskan PKP dengan peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu dapat memungut dan menyetorkan PPN dengan besaran tertentu yang lebih rendah atau disebut tarif final dari nilai penyerahan BPK dan/atau JKP.
“Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam
pemungutan PPN untuk barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu,” demikian keterangan resmi Kementerian Keuangan.
Kementerian Keuangan menegaskan bahwa ketentuan mengenai tarif final ini akan diatur lebih lanjut dengan PMK.