Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di dalam negeri dinilai kian tertekan di tengah pandemi Covid-19 lantaran belum adanya ketentuan terkait impor barang melalui sektor perdagangan di platform e-commerce yang memungkinkan transaksi lintas negara (cross border transactions).
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menegaskan urgensi kehadiran regulasi itu sebenarnya sudah disuarakan pihaknya sebelum pandemi Covid-19 melanda. Saat itu, jelas dia, ketiadaan regulasi itu membuat UMKM tidak berdaya dengan maraknya produk impor yang disediakan sejumlah platform e-commerce.
UMKM disebut tak mampu bersaing dengan produk impor yang diperdagangkan tersebut lantaran jauh lebih murah. Ikhsan menegaskan kondisi tersebut tidak adil sebab produk impor via e-commerce bebas masuk tanpa bea atau pajak untuk importasi.
“Akibatnya UMKM kita di dalam negeri mati. Tidak akan berkembang karena orang-orang yang jualan lewat offline kan itu dia harus bayar biaya macam-macam, sedangkan yang di marketplace dibiarkan,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (11/10/2021).
Ikhsan mencontohkan produk fesyen seperti jilbab impor melalui e-commerce pernah dibanderol sekitar Rp1.300-Rp1.800, sedangkan UMKM lokal memasarkan dengan biaya produksi mencapai Rp12.000.
Di tengah pandemi Covid-19, sambung dia, UMKM kian tertekan sebab regulasi yang diharapkan untuk melindungi pelaku usaha lokal dari praktik perdagangan lintas negara atau cross border secara daring itu belum juga ada.
“Kita belum punya aturan [untuk impor produk melalui e-commerce]. Kita kurang lebih sekitar 6-7 tahun ini sudah membiarkan mereka bermain di dalam pasar kita,” ungkapnya.
Ikhsan mengakui bahwa akses perdagangan yang terbuka ini memang dimungkinkan dengan kesepakatan antarnegara dan Kawasan regional. Namun, dia menekankan bahwa dalam situasi ini, Indonesia dengan populasi mencapai 270 jiwa lebih menjadi pasar tujuan.
Di sisi lain, sambung dia, Indonesia belum siap untuk mengembangkan penjualan via daring dibandingkan dengan negara-negara lain yang terlibat dalam kesepakatan dagang, seperti China dan Thailand.
“Engga usah 270 juta jiwa penduduknya, 30 juta saja yang sudah dewasa dan memang sekarang terbukti sudah sekitar 15 juta jiwa [populasi RI] yang main di internet. Itu saja sudah sangat besar pasarnya,” ungkapnya.
Perdagangan yang Adil
Ikhsan mengatakan Akumindo berharap pemerintah segera merealisasikan regulasi yang mengatur produk impor via e-commerce tersebut. Hal itu, jelasnya, akan memberikan kondisi perdagangan yang lebih adil bagi para UMKM lokal.
Apalagi, tegas dia, Undang-undang No. 20/2020 tentang Cipta Kerja atau omnibus law dengan seluruh peraturan pemerintah turunannya telah mendorong keberpihakan kepada UMKM.
“Keberpihakan kepada UMKM. Yang paling penting adalah usaha yang berkeadilan. Poinnya itu,” ungkapnya.
Ikhsan mengatakan kebijakan itu sebenarnya sebelumnya telah diwacanakan pemerintah dengan rencana revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Rencana itu terungkap pada paruh pertama 2021, tetapi hingga saat ini belum terwujud.
Ikhsan pun mengaku terlibat dalam pembahasan awal revisi tersebut. Dalam kesempatan itu, dia mengatakan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan jajarannya mengutarakan keinginannya untuk merevisi regulasi tersebut.
“Poin terakhir dalam pertemuan itu adalah pemerintah setuju untuk mengatur. Alasannya jelas, mereka tidak bayar bea impor [produk impor via e-commerce],” tegasnya.
Dalam sebuah webinar Juni lalu, Mendag Lutfi mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menyusun revisi pada Permendag No. 50/2020 tersebut untuk memastikan pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa menikmati peluang dan kesempatan pertumbuhan ekonomi digital.
Saat ini, struktur UMKM nasional dinilai belum tangguh untuk menghadapi tantangan yang mengemuka seiring berkembangnya perdagangan secara elektronik.
“Perdagangan melalui sistem elektronik ini sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Disrupsi ini seharusnya membawa keuntungan dan terobosan untuk bisa menciptakan pelaku usaha yang tangguh. Namun memang perlu ada urutannya,” kata Mendag Lutfi.