Bisnis.com, JAKARTA - Industri plastik sejauh ini tetap menunjukkan resistensi terhadap rencana pengenaan cukai plastik. Terlebih, DPR belum lama ini menyetujui perluasan cukai plastik, menjadi juga mencakup wadan dan kemasan plastik, diapers, serta alat makan dan minum sekali pakai.
Direktur Eksekutif Indonesia Packaging Federation (IPF) Henky Wibawa mengatakan masalah utama sampah plastik di Indonesia adalah pengelolaan yang belum terpadu. Cukai plastik, jika dimaksudkan untuk menekan angka konsumsi, menjadi solusi yang tidak tepat.
Namun, dia mengaku sepakat jika pungutan tersebut nantinya digunakan sebagai insentif untuk meningkatkan pengelolaan sampah plastik di Indonesia.
"Kebutuhan akan plastik akan tetap meningkat, apa gunanya diberikan cukai. Itu salah, kecuali kalau dari cukai itu, dikelola untuk menangani sampah plastik," katanya kepada Bisnis.com, Rabu (8/9/2021).
Henky menilai hal tersebut juga berlaku di Jerman, salah satu negara maju yang telah memberlakukan cukai bagi kemasan, termasuk plastik.
Bersamaan dengan bergulirnya, rencana perluasan cukai tersebut, utilisasi industri kemasan saat ini juga belum sepenuhnya pulih. Henky mengatakan utilisasi industri saat ini kira-kira berada di angka 50 persen hingga 60 persen. Posisi tersebut diperkirakan akan bertahan sampai akhir tahun.
Baca Juga
Impor bahan baku masih menjadi masalah industri karena adanya kelangkaan kontainer dan kemacetan pelabuhan-pelabuhan dunia. Selain itu, tren gaya hidup dan pasar ritel juga berubah ke arah online dan minimarket sehingga mendorong produsen mengalihkan fokus target utama pasar yakni ke sektor industri kecil.
Henky sebelumnya telah merisi target pertumbuhan industri tahun ini menjadi 2-3 persen dari awal 4-5 persen.
Adapun pada tahun depan, pertumbuhan industri akan bertumpu pada perluasan pasar terutama industri kecil di luar Pulau Jawa dan Sumatera.
"Pasar kan tetap masih besar, kami mencari celah di luar Pulau Jawa dan Sumatera masih banyak yang menginginkan kemasan yang lebih baik," ujarnya.