Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) menilai revisi Peraturan Menteri ESDM terkait pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap hanya akan lebih menguntungkan orang kaya.
Hal ini disampaikan terkait dengan ketentuan nilai transaksi ekspor listrik PLTS atap yang akan dinaikkan dari 65 persen menjadi 100 persen.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak pengembangan PLTS atap. Namun, berdasarkan data PLN, pengguna PLTS atap didominasi oleh golongan pelanggan nonsubsidi rumah tangga daya 3.500 VA—5.500 VA, dan rumah tangga daya 6.600 VA ke atas.
“Penggunanya paling besar 6.600 VA ke atas dan 3.500 VA—5.500 VA, ini orang kaya semua, yang berduit. Intinya yang menikmati PLTS atap itu orang-orang yang punya kemampuan, tidak perlu disubsidi itu. Kenapa kita harus subsidi dia? Dia yang harus mensubsidi kita, ada 32 juta pelanggan yang masih disubsidi,” ujar Bob dalam acara Bincang-bincang METI, Jumat (27/8/2021).
PLN mencatat, hingga Juli 2021 pengguna PLTS atap telah mencapai 4.028 pelanggan. Jumlah ini telah meningkat 561,4 persen sejak Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap Oleh Konsumen PLN diterbitkan.
Dari jumlah tersebut, pengguna PLTS atap yang paling banyak adalah golongan pelanggan nonsubsidi rumah tangga daya 3.500 VA—5.500 VA sebanyak 1.458 pelanggan. Disusul oleh pelanggan nonsubsidi rumah tangga daya 2.200 VA 919 pelanggan, dan rumah tangga daya 6.600 VA ke atas 820 pelanggan.
Selain itu, jika listrik dari PLTS atap dihargai sama dengan harga jual listrik PLN kepada pelanggan (kurang lebih Rp1.444,7 per kWh), biaya produksi pembangkit akan meningkat hingga Rp1,5 triliun per tahun untuk kapasitas 1 gigawatt peak (GWp), dan akan terus meningkat seiring dengan naiknya kapasitas PLTS atap.
Dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PLTS atap, selain menaikkan total biaya produksi atau pembelian energi listrik, juga akan meningkatkan BPP pembangkit sekitar Rp7 per kWh dan akan terus meningkat seiring naiknya kapasitas PLTS atap.
Oleh karena itu, Bob menuturkan bahwa pihaknya mengusulkan agar ketentuan nilai transaksi ekspor listrik PLTS atap tetap 65 persen (1:0.65).
“PLTS atap seharusnya untuk mengurangi pemakaian [listrik] dan lifestyle, maka tidak untuk dilakukan bisnis transaksi. Maka kami tetap usulkan 1:0,65 dan lainnya bisa direvisi,” kata Bob.
Kementerian ESDM sendiri tengah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa urgensi adanya revisi aturan tersebut didasari atas sejumlah pertimbangan, yaitu penambahan jumlah kapasitas PLTS atap belum sesuai dengan target yang diharapkan.
Selain itu, revisi tersebut juga mempertimbangkan adanya pengaduan masyarakat terkait waktu pelayanan PLTS atap yang tidak sesuai dengan Permen ESDM yang ada (perbedaan harga dan standar kWh meter ekspor-impor), serta meningkatkan keekonomian PLTS atap.
Salah satu poin penting yang diatur dalam revisi Permen tersebut adalah meningkatkan ketentuan ekspor listrik oleh pelanggan PLTS atap ke PLN dari sebelumnya 65 persen menjadi 100 persen.
“Ini merupakan pemberian insentif yang lebih baik ke masyarakat yang memasang PLTS atap. Sebagaimana disampaikan oleh Presiden salah satu program pemulihan ekonomi adalah pengembangan ekonomi hijau,” kata Dadan.