Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Panji Irawan & Andry Asmoro

Lihat artikel saya lainnya

Implikasi Transisi Libor

Perpanjangan batas waktu penghentian Libor bisa memberi keleluasaan waktu bagi perbankan dan nasabah untuk menyesuaikan kontrak tetapi proses transisi harus segera dimulai.
Karyawati salah satu bank memperlihatkan uang rupiah dan dolar di Jakarta, Kamis (29/4/2021). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawati salah satu bank memperlihatkan uang rupiah dan dolar di Jakarta, Kamis (29/4/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Sektor finansial, terutama perbankan, kian menghadapi situasi yang menantang. Selain volatilitas akibat proses pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19, akan hadir pula tantangan dari proses peralihan suku bunga acuan bagi berbagai transaksi keuangan.

Sejak bergulirnya rencana penghentian publikasi suku bunga London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR) oleh Financial Conduct Authority (FCA) Inggris pada awal 2021, perbankan dunia telah bersiap melakukan proses transisi dalam penggunaan suku bunga acuan.

Suku bunga acuan dolar AS yang direkomendasikan Alternative Reference Rate Committee (ARRC) adalah Secured Overnight Financing Rate (SOFR). Namun, pada awal Maret 2021, FCA memberikan konfirmasi akan adanya perpanjangan batas waktu (deadline) sampai dengan Juni 2023 untuk penghentian Libor khusus mata uang dolar AS dengan tenor 1, 3, 6, dan 12 bulan demi menghindari terganggunya pasar keuangan akibat persiapan yang tidak memadai.

Pasalnya, suku bunga acuan LIBOR berdenominasi dolar AS tenor 1, 3, 6 dan 12 bulan paling banyak dipakai dalam berbagai transaksi keuangan dunia. Dengan adanya penyesuaian batas waktu diharapkan memberi keleluasaan waktu bagi pelaku pasar dan perbankan untuk melakukan proses transisi pada alternatif suku bunga lain.

Pertanyaannya, implikasi apa yang perlu dipertimbangkan dan bagaimana mitigasinya agar transisi berjalan mulus dan meminimalkan potensi risiko.

Transisi LIBOR, terlepas dari perpanjangan batas waktu, berimplikasi hukum atas kontrak-kontrak terdahulu, yaitu perlunya penambahan klausul yang mengatur pedoman pelaksanaan dalam hal suku bunga acuan tidak lagi tersedia (fallback language) untuk menghindari risiko terjadinya kegagalan kontrak akibat tidak tersedianya hal substansial pada kontrak.

Dalam hal ini ketiadaan kesepakatan atas suku bunga acuan pengganti, sehingga transaksi menjadi tidak dapat dilaksanakan. Alhasil, penyesuaian terhadap kontrak terdampak perlu dilakukan untuk memberi kepastian hukum dan mendukung kelancaran proses transisi kepada suku bunga acuan pengganti Libor.

Di sisi lain, perpanjangan batas waktu transisi Libor juga memberi keleluasaan waktu bagi para pelaku pasar dan perbankan untuk menjalankan proses penyesuaian terhadap kontrak-kontrak transaksi terdampak.

Proses ini meliputi identifikasi kontrak, penyusunan fallback language, penentuan mekanisme repapering, serta negosiasi dan eksekusi repapering. Khusus untuk repapering, patut diperhatikan kedisiplinan dalam menjalankan setiap proses tersebut sesuai dengan timeline untuk menghindari proses negosiasi yang terlalu dekat dengan akhir periode penggunaan LIBOR.

Lebih lanjut, monitoring terhadap kontrak-kontrak terdahulu yang jatuh tempo sebelum 30 Juni 2023 tetap perlu dilakukan untuk memastikan ketersediaan fallback language apabila pada kontrak tersebut dilakukan perpanjangan jangka waktu transaksi hingga melewati 30 Juni 2023.

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan penyesuaian kontrak terdampak, kondisi di mana kegagalan para pihak dalam menyepakati fallback language yang berujung kepada pengakhiran kontrak sangat mungkin terjadi.

Sebagai antisipasi perlu dilakukan identifikasi terhadap ketentuan yang mengatur mekanisme penyelesaian transaksi dari kontrak-kontrak yang diakhiri untuk menjamin kepastian hukum dan memastikan kesiapan pelaku pasar dan perbankan dalam memitigasi risiko yang muncul.

Kajian transisi LIBOR terhadap kontrak-kontrak outstanding yang dimiliki bank menghasilkan tiga aktivitas utama yang akan menjadi skenario penyelesaian negosiasi atas kontrak tersebut, yaitu Repapering (konversi LIBOR ke SOFR), ISDA Fallback Rate Protocol (tetap LIBOR), dan Unwind (penghentian transaksi).

Nyatanya, perpanjangan batas waktu penggantian LIBOR berdampak pada aspek manajemen risiko, terutama risiko pasar. Diprediksi menyebabkan meningkatnya jumlah nasabah yang mengikuti ISDA Fallback Rate Protocol dan sebaliknya akan mengurangi jumlah nasabah yang memilih Repapering atau Unwind.

Jadi, ada potensi peningkatan aktivitas Mark to Market (MtM) atas portofolio transaksi yang masih menggunakan referensi suku bunga LIBOR hingga 2023.

Apabila bank memilih ISDA Fallback Protocol dengan suku bunga acuan LIBOR terhadap outstanding transaksi yang dimilikinya maka mengandung risiko makin menipisnya ketersediaan produk LIBOR dan market data-nya, yang dapat berujung pada menghilangnya discount curve. Seiring berjalannya waktu, pasar swap LIBOR akan semakin berkurang dan digantikan pasar swap SOFR.

Intinya, meski perpanjangan batas waktu penghentian LIBOR dapat memberi keleluasaan waktu bagi perbankan dan nasabah untuk menyesuaikan kontrak tetapi proses transisi harus segera dimulai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper