Bisnis.com, JAKARTA – Strategi pemerintah memberikan jalan kepada perbankan untuk menyalurkan pinjaman dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kredit tanpa agunan untuk biaya penempatan kepada pekerja migran Indonesia (PMI) dinilai kontradiktif dengan kebijakan zero cost.
KUR dan kredit tanpa agunan disebut justru akan menambah beban PMI pada masa pandemi Covid-19.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah, program pembebasan biaya penempatan bagi PMI melalui Peraturan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 9/2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI sebetulnya tidak diperlukan jika masih ada KUR.
“Kalau kebijakannya zero cost, sesuai dengan Pasal 30, artinya tidak perlu ada pinjaman. Lalu, mengapa ada KUR? Meskipun tujuannya membebaskan PMI dari utang rentenir, tapi utang bank juga beban,” ujar Anis kepada Bisnis, Minggu (15/8/2021).
Selain itu, sambungnya, kebijakan zero cost belum diterapkan di lapangan. Menurut Anis, PMI masih harus membayar kepada calo, sponsor, ataupun PT. Dengan kata lain, mekanismenya masih sama dengan undang-undang yang lama.
Kebijakan zero cost dikatakan akan benar-benar maksimal ketika pemerintah menjalankan fungsi Balai Latihan Kerja (BLK) secara benar. Sebab, beban paling berat dalam penempatan adalah biaya pelatihan dan biaya hidup selama mengikuti pelatihan.
Dia menambahkan, pemerintah tidak pernah membangun masa transisi antara undang-undang lama dan baru terkait dengan PMI. Selain itu, Anis menilai, harus ada sinergitas antarlembaga pemerintah sehingga bisa dipastikan implementasi satu kebijakan tidak menabrak kebijakan lainnya.
“Ini bukan kebijakan baru. Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berkali-kali membuat kebijakan KUR dan selalu menjadi beban bagi PMI,” tuturnya.
Dengan demikian, manfaat pembebasan biaya pinjaman melalui KUR dan kredit tanpa agunan terhadap PMI cukup layak untuk dikaji kembali. Sebab, tidak ada jaminan bahwa para PMI sebagai warga negara asing (WNA) bisa dengan mudah mengganti uang yang dipinjamkan.
Sejauh ini, belum ada strategi khusus dari pemerintah terkait dengan hal ini. Berdasarkan data BP2MI, dari 4.807 PMI pada Juli 2021, sebanyak 3.648 orang bekerja di sektor informal.
Kendati tidak mudah, pemerintah tetap harus melakukan langkah terobosan agar komposisi PMI tidak lagi didominasi oleh pembantu rumah tangga (PRT) yang pasif terhadap atasan dan rentan mengalami penindasan.