Bisnis.com, JAKARTA - Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini mengungkapkan ada lima masalah ekonomi politik paling krusial yang terjadi di Indonesia selama masa pandemi Covid-19.
Hal tersebut dia paparkan dalam acara diskusi publik Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dengan tema “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Fondasi Ekonomi & Agenda Pembangunan di Indonesia" yang berlangsung Jumat (13/8/2021).
"Pertama, fiskal yang rapuh dan utang besar. Utang luar negeri Indonesia hingga Juni 2021 tercatat telah mencapai Rp6.554 triliun dengan beban bunga Rp367,3 triliun. Rasio utang terhadap GDP [gross domestic bruto] sendiri telah mencapai 41,35 persen," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (14/8/2021).
Kedua, Didik mengatakan tidak memadainya kepemimpinan dalam kebijakan mengatasi dampak pandemi Covid-19. Menurutnya, banyak pengeluaran sosial justru mengalami tumpang tindih. Hal tersebut, lanjutnya, merefleksikan keadaan dimana kebijakan tidak terkoordinasi dengan baik.
Selain itu, tidak memadainya kemampuan kepemimpinan dan kebijakan yang diambil dalam mengatasi pandemi dan tingkat kematian penderita Covid-19 di Indonesia sangat tinggi dibanding negara-negara lain.
"Persoalan-persoalan itu menunjukkan ada hal krusial yang terjadi yakni yakni terjadinya krisis kepemimpinan saat ini dalam rangka mengatasi problem besar pandemi di Indonesia," jelasnya.
Ketiga, Indonesia jatuh menjadi negara tergolong “Lower-Middle Income”. Dia mengungkapkan status tersebut membuat RI sangat jauh di bawah dibandingkan Thailand dan Malaysia. Jika tidak hati-hati, lanjutnya, bisa saja pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2021 hanya berkisar 3 – 4 persen.
Keempat, Didik menyoroti Indonesia punya ketergantungan ekonomi politik terhadap China. setelah CHAFTA, Indonesia menyerahkan pasarnya hanya ke China. Jika negara lain masuk dengan tarif bea masuk, katanya, maka produk China bisa masuk dengan nol tarif.
Sementara itu, jarak atau gap perdagangan Indonesia dengan China dan negara lain mengalami defisit yang cukup jauh.
Apabila defisit perdagangan itu tidak kunjung diselesaikan maka perekonomian nasional Indonesia akan selamanya lemah. Ketergantungan ekonomi sekaligus politik kepada China saat ini juga menjadi batu sandungan serius bagi Indonesia dalam merawat hubungan dengan negara-negara lain.
"Padahal nilai perdagangan Indonesia telah cukup bagus pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pada 2011 nilai perdagangan Indonesia tembus mencapai US$200 miliar.
Meskipun saat ini ada kenaikan harga komoditas atau commodities boom, tapi upaya-upaya ke arah peningkatan kinerja perdagangan serius dilakukan. Didik menilai tidak ada upaya-upaya tersebut hingga saat ini.
Kelima, Indonesia kehilangan prinsip bebas aktif dalam politik luar negeri. Sayangnya, kelemahan tersebut oleh para anggota parlemen tidak ada yang mengoreksi.
"Kepemimpinan Indonesia di tingkat ASEAN saja saat ini jauh tertinggal jika dibanding misalnya dengan periode Ali Alatas menjadi Menteri Luar Negeri," ungkapnya.