Bisnis.com, JAKARTA—Tarif listrik di dalam negeri berpotensi naik akibat sejumlah klausul dalam aturan dan rancangan aturan energi baru terbarukan (EBT) yang dinilai tidak adil bagi masyarakat dan PT PLN (Persero).
Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, fenomena menimpakan risiko usaha kelistrikan pada negara tercermin dari kebijakan take or pay.
Dalam mekanisme itu, kata dia, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta (independent power producer/IPP) sesuai kontrak, meski dayanya tidak terpakai.
“Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian, padahal bisnis kan ada untung dan rugi,” ujar Marwan dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin (19/7/2021).
Dia menjelaskan, mekanisme take or pay (ToP) hanya memastikan keuntungan bagi IPP atau investor, sedangkan negara dan PLN harus siap menanggung keuntungan dan kerugian. Hal itu kemudian membuat mekanisme ToP tidak lagi bisa diterima.
Menurutnya, dampak terberat dari kebijakan ToP dirasakan saat konsumsi listrik turun, sedangkan biaya yang harus dibayar tetap.
Seperti pandemi saat ini, lanjutnya, konsumsi listrik cenderung turun dan membuat cadangan daya di atas 35 persen dari yang idealnya 30 persen.
“Kalau PLN bermasalah bisa bangkrut, dikuasai asing atau swasta. Bagi pelanggan nantinya listrik bisa mahal. Kalaupun PLN tidak bangkrut, maka PLN harus menaikkan biaya pokok tarif,” ujarnya.
Terkait dengan EBT, hal lain yang disoroti Marwan Batubara adalah upaya mengubah klausul di Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018, khususnya terkait biaya ekspor energi PLTS IPP mikro ke PLN.
Dalam permen itu ditetapkan nilai transaksi ekspor 1:0,65, di mana 1 untuk harga listrik PLN dan 0,65 untuk komponen biaya PLTS IPP mikro. Sejumlah pihak, dengan alasan mendorong percepatan pengembalian investasi, meminta ketentuan diubah menjadi 1:1.
“Kalau seperti itu jadinya, orang tidak punya PLTS menyubsidi orang yang punya PLTS, dan tidak adil. Kalau membangun energi bersih, jangan dipakai untuk mencari keuntungan. Apakah gardu listrik, transmisi PLN tidak dihargai? Masa [aset] PLN hanya numpang lewat saja,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, dengan aturan saat ini dan nantinya akan ditambah RUU EBT, subsidi bisa bertambah sampai Rp1,5 triliun untuk setiap 1 gigawatt (GW) PLTS IPP yang dimasukkan ke system.
“Hal ini disebabkan dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PV Rooftop, maka akan menaikan biaya pokok produksi sebesar Rp7 per kwh dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas PV Rooftop ini,” tuturnya.
Kenaikan BPP, kata Mamit, otomatis akan meningkatkan subsidi dan kompensasi. Jika tarif untuk pelanggan subsidi, maka pemerintah akan mensubsidi tarif listrik tersebut.
Kemudian jika pelanggan nonsubsidi tetapi tidak ada tarif adjustment, maka pemerintah harus memberikan dana kompensasi kepada PLN. Namun, jika dinaikan maka akan memberatkan bagi masyarakat.
Padahal, kondisi saat ini adalah pelanggan yang disubsidi hanya 25 persen dan yang nonsubsidi sebanyak 75 persen dari total pelanggan PLN. “Hal ini akan sangat memberatkan bagi PLN maupun pemerintah,” ujarnya.