Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gara-gara EBT, Investasi Hulu Migas Indonesia Tak Lagi Menarik?

Realisasi investasi yang terus turun menjadi cerminan persepsi iklim investasi hulu migas Indonesia.
Pekerja melakukan pengawasan di proyek Grati Pressure Lowering yang dilakukan oleh Ophir Indonesia (Sampang) Pty. Ltd., Jawa Timur. Istimewa - Dok. SKK Migas
Pekerja melakukan pengawasan di proyek Grati Pressure Lowering yang dilakukan oleh Ophir Indonesia (Sampang) Pty. Ltd., Jawa Timur. Istimewa - Dok. SKK Migas

Bisnis.com, JAKARTA – Iklim investasi di hulu minyak dan gas bumi masih membutuhkan perhatian serius untuk bisa tetap menarik minat perusahaan-perusahaan besar menanamkan modalnya.

Berdasarkan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Bumi (SKK Migas), tren investasi di sektor hulu migas cenderung mengalami penurunan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Pada 2015, realisasi investasi hulu migas berhasil mencapai US$15,30 miliar, tetapi jumlah itu merosot pada periode selanjutnya menjadi US$11,59 miliar. Jumlah itu kemudian kembali menciut pada 2017 dengan realisasi hanya US$10,27 miliar.

Sementara itu, pada 2018 dan 2019, realisasi investasi migas kembali meningkat tipis dengan realisasi US$11 miliar dan US$11,49 miliar. Pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia pada 2020 kembali menyurutkan realisasi investasi hulu migas menjadi US$10,21.

Adapun, sepanjang semester I/2021, realisasi investasi hulu migas tercatat baru mencapai US$4,92 miliar atau 39,7 persen dari target investasi tahun ini U$12,38 miliar.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan tren energi baru dan terbarukan (EBT) memiliki pengaruh terhadap investasi hulu migas, tapi hal tersebut itu lebih di tingkat global.

Menurut dia, tren investasi hulu migas Indonesia saat ini sebagian besar untuk pemeliharaan operasi dan produksi yang sudah berjalan.

Dengan demikian, dia berpendapat bahwa selama belum ada pemain migas besar baru yang masuk ke Indonesia, perusahaan migas globa eksisting di dalam negeri pun polanya akan lebih ke investasi untuk operasi yang sudah berjalan.

"Kembali ke soal tren EBT dan IOC tadi, intinya ke depan IOC akan semakin sangat selektif dalam memilih negara tempat mereka akan berinvestasi. Jadi, hanya prospek-prospek hulu migas yang menarik dan memiliki iklim investasi yang kondusif yang akan mereka pilih," katanya kepada Bisnis, Selasa (20/7/2021).

Dia menambahkan pemerintah seharusnya telah masuk pada tahapan untuk meyakinkan investor untuk mau menamamkan investasi di Indonesia. Untuk itu, persepsi Indonesia di mata investor menjadi pekerjaan rumah yang perlu dibenahi.

Pri menjelaskan persepsi iklim investasi hulu migas Indonesia telah disorot berbagai lembaga riset. Selain itu, realisasi investasi yang terus turun menjadi cerminan persepsi iklim investasi hulu migas Indonesia.

"Intinya kita harus mampu mendatangkan investor, itu tugas siapa pun yng duduk di posisi kunci Kementerian ESDM atau hulu migas kita. Sudah lebih pada tahap action-nya, sudah bukan lagi di tataran konsepsi kebijakan," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan investasi migas di Indonesia sudah lama menjalani tren menurun. Dia berpendapat loyonya investasi hulu migas Indonesia bukan disebabkan karena adanya tren dari EBT.

Moshe menyatakan kendati banyak perusahan migas global yang telah menyuarakan komitmennya untuk mendukung energi bersih dan menjalani transisi energi, tetapi secara bisnis masih ditopang oleh pendapatan dari sektor migas dan tetap menjalankan investasi di negara-negara lain.

"Bukan [masalah] presepsi, tapi memang realita di lapangan, kondisi iklim investasi Indonesia yang banyak ketidakpastian dan negara lain yang lebih bersaing dibandingkan Indonesia dari sisi regulasi, termin kontrak, potensi cadangan," katanya kepada Bisnis, Selasa (20/7/2021).

Lebih lanjut, Moshe tidak menampik kondisi Covid-19 semakin memperparah kondisi seretnya investasi hulu migas di dalam negeri.

"Memang situasi pandemi Covid-19 saat ini menghambat kegiatan di lapangan yang menyebabkan sulitnya untuk menjaga produksi, dan para investor juga masih berhati-hati dalam menggelontarkan dana modal, walaupun untuk proyek eksisting," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper