Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nilai Tukar Petani Dipatok 102, DPR Protes: Terlalu Rendah!

Nilai tukar petani (NTP) pernah mencapai angka 105 pada 2011, sedangkan nilai tukar nelayan (NTN) pernah sebesar 114 pada 2019.
Petani padi melakukan pemupukan di lahan sawahnya dengan pupuk urea bersubsidi. istimewa
Petani padi melakukan pemupukan di lahan sawahnya dengan pupuk urea bersubsidi. istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Dolfie O.F.P meminta kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menaikkan angka target indikator Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Nelayan, pada Indikator Pembangunan 2022.

Adapun, Kementerian PPN/Bappenas menargetkan masing-masing NTP dan NTN berada di kisaran 102 sampai dengan 104. Oleh karena itu, Dolfie mengatakan target tersebut masih terlalu rendah.

Menurut Politikus PDIP tersebut, NTP dan NTN pernah mencapai angka yang tinggi dengan menggunakan metode yang sama. Dia menyebut NTP pernah mencapai angka 105 pada 2011, sedangkan NTN pernah sebesar 114 pada 2019.

"Jangan sampai dengan alasan [Covid-19], kemudian NTP dan NTN dibuat terus rendah. Tidak ada political will kita terhadap petani dan nelayan," jelas Dolfie pada Rapat Kerja bersama Banggar DPR RI untuk Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN TA 2022 dan RKP 2022 di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (31/5/2021).

Maka itu, dia meminta kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang turut hadir dalam Raker, untuk menaikkan satu poin kepada target NTP dan NTN di 2022. Tentunya, langkah tersebut harus menyesuaikan dengan implikasi yang dapat terjadi terhadap kebijakan keuangan negara.

Untuk Indikator Pembangunan 2022, Kementerian PPN/Bappenas menargetkan NTP dan NTN berada di kisaran sebesar 102-104. Kisaran angka tersebut sama dengan outlook NTP dan NTN pada 2021.

Berdasarkan diskusi Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa bersama Badan Pusat Statistik (BPS), ditemukan bahwa selama petani off-farm (tidak di sawah), mereka bekerja sebagai buruh di kota. Pada saat periode waktu sebagai buruh, data jam kerja petani tersebut luput dari pendataan BPS, dan justru masuk dalam data buruh.

"Ini yang harusnya bisa kita perbaiki bersama, dan sedang kami bicarakan dengan BPS. Nanti, supaya kita bisa benar-benar tahu persis berapa Nilai Tukar Petani yang sesungguhnya, atau di on-farm," kata Suharso.

Sementara, Suharso juga memaparkan bahwa petani lebih banyak bekerja di wilayah pertanian sekitar 1.000 jam dari total 2.000 jam selama setahun. Maka itu Politikus PPP tersebut tidak menampik bahwa angka NTP perlu dikoreksi.

"Kalau terjadi perubahan yang baik pada Nilai Tukar Petani dan jam kerja di on-farm, dan off-farm menjadi berkaitan dengan produktivitas di pertanian, maka akan sekaligus kita memperoleh kenaikan di NTP, sebagaimana yang terjadi di Thailand dan China. NTP itu rata-rata sekitar 140," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper