Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tax Amnesty II, Anggota Fraksi PKS DPR: Yang Pertama Saja Gagal

Menurut anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati ada tiga sasaran utama pada tax amnesty jilid pertama. Dua di antarnaya tidak mencapai target, dan sisanya tidak memiliki parameter untuk pembuktian.
Wajib pajak antre di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu (29/3/2017)./Antara-Akbar Nugroho Gumay
Wajib pajak antre di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu (29/3/2017)./Antara-Akbar Nugroho Gumay

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyisipkan agenda pengampunan pajak atau tax amnesty jilid 2 pada Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Wacana tersebut dipertanyakan karena yang sebelumnya gagal.

Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati mengatakan bahwa ketika kebijakan tax amnesty dirancang, pemerintah memiliki tiga sasaran utama.

Pertama, kebijakan ini dapat menambah pendapatan perpajakan di Indonesia sehingga dapat sedikit menutup defisit anggaran. Kedua, menarik dana dari luar negeri.

Terakhir, pengampunan pungutan diharapkan dapat memperluas basis perpajakan di Indonesia yang pada akhirnya dapat meningkatkan tax ratio Indonesia.

Terkait dengan sasaran pertama, pemerintah menargetkan tambahan pendapatan pajak sebesar Rp165 triliun pada 2016 atau pada awal tahun diberlakukan. Akan tetapi, target tersebut dijadikan target selama program pengampunan pajak berjalan.

Berdasarkan data yang diterima, Anis memaparkan bahwa angka terakhir menunjukkan jumlah uang tebusan yang masuk hanya sebesar Rp135 Triliun atau sebesar 81 persen dari target yang sudah dicanangkan.

“Melesetnya target tersebut tentu berimplikasi ke APBN yang sedang berjalan. Apabila angka tersebut sudah dimasukkan sebagai target pendapatan, maka ketika tidak tercapai, kekurangan sebesar Rp30 Triliun harus ditambal, baik melalui penambahan defisit [utang] maupun mengurangi pos belanja,” katanya melalui pesan instan, Sabtu (22/5/2021).

Mengenai sasaran kedua, Anis menjelaskan bahwa pemerintah selalu melempar wacana kebijakan pengampunan pajak penting untuk menarik dana-dana orang Indonesia yang disimpan di luar negeri.

Awalnya pemerintah mencatat ada Rp11.000 triliun dana yang tersimpan di luar negeri. Angka ini diturunkan sehingga mendekati perkiraan illicit fund Indonesia yang dihitung oleh World Bank, yaitu sebesar Rp4.000 Triliun.

Data terakhir menunjukkan dana repatriasi hanya mencapai Rp147 triliun, atau hanya sekitar 4 persen dari potensi yang ada. Rendahnya dana repatriasi disebabkan oleh sejumlah hal.

Pertama, waktu yang diperlukan untuk mencairkan aset yang berbentuk fisik. Kedua, tarif repatriasi dan deklarasi luar negeri hanya selisih 1 persen sampai 2 persen.

“Hal tersebut menjadi insentif seseorang untuk sekedar mendeklarasikan asetnya di luar negeri, tanpa perlu membawa dana tersebut kembali ke Indonesia,” papar Anis.

Terakhir di sasaran basis pajak, Anis menyatakan bahwa parameter ketiga ini pada dasarnya belum dapat dibuktikan. Alasannya, harus dulihat tax ratio Indonesia pada tahun 2017 untuk melihat seberapa besar dampaknya.

“Akan tetapi perlu diingat, sejumlah penelitian empiris menunjukkan bahwa kebijakan tax amnesty tidak akan berpengaruh besar terhadap tax ratio,” jelasnya.

Oleh karena itu, pemerintah diminta mempertimbangkan respons wajib pajak. Salah satu yang akan muncul adalah pembayar pajak yang patuh akan kecewa karena mereka tidak diuntungkan dari kebijakan ini. Akhirnya, menurunkan tingkat kepatuhan pajak di masa yang akan datang.

Selain kecewa, pembayar pajak yang jujur juga takut pendapatan negara yang hilang akibat tax amnesty akan menjadi beban pajak untuk mereka di masa yang akan datang.

“Hal ini bisa mendorong para pembayar pajak yang jujur untuk ikut melakukan pengemplangan. Dari sini kita dapat melihat bahwa sekarang justru bukan saat yang tepat untuk melakukan tax amnesty,” ucap Anis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper