Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai belum berkembangnya industri panel surya dalam negeri menjadi tantangan dalam akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
"Kemampuan industri surya dalam negeri baru di tahap assembly modul surya dan masih pada skala ekonomi yang kecil. Inverter masih belum dapat diproduksi dalam negeri," kata Arifin dalam acara pelantikan pengurus Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) periode 2021 - 2024 secara virtual, Jumat malam (21/5/2021).
Menurutnya, untuk menarik investasi di sektor hulu panel surya, diperlukan penciptaan pasar yang signifikan. Oleh karena itu, pemerintah tengah berupaya membangun pasar PLTS yang menarik bagi investor.
Saat ini, Kementerian ESDM tengah mencoba merancang bagaimana regulasi yang disusun selaras dengan peluang pasar yang akan diciptakan. "Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan rancangan Peraturan Presiden EBT harus sudah ada target pasar yang bisa menjadi daya tarik industri hulu untuk masuk," kata Arifin.
Dia menambahkan bahwa saat ini masih terdapat isu terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam industri PLTS atau panel surya. Untuk itu, pemerintah juga akan berusaha memperbaiki regulasi terkait hal ini.
Dengan didorongnya pengembangan sektor hulu PLTS, dia yakin harga listrik dari PLTS akan semakin kompetitif.
"Kenapa ACWA Power perusahaan di Saudi Arabia, Masdar, Mubadala [perusahaan energi dari Uni Emirat Arab], bisa bersaing di pasar internasional untuk pasarkan pembangunan pembangkit PLTS? Karena mereka menguasai hulunya," tuturnya.
Menurutnya, Indonesia mempunyai potensi pasar PLTS yang besar. PLTS berpotensi dikembangkan mencapai 30-100 GW per dekade. Jika potensi pasar ini dimanfaatkan secara optimal, maka akan bisa bersama-sama menciptakan peluang.
Sementara itu, Anggota Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) Budiman Setiawan mengatakan bahwa saat ini kapasitas pabrik modul surya di Indonesia baru mencapai sekitar 50-100 megawatt (MW) per pabrik. Masih kecilnya utilisasi tersebut, membuat modul surya pabrikan dalam negeri sulit bersaing dengan produk dari China.
"Saat ini rata-rata pabrik di China beroperasi sudah 3-5 GW per pabrik, per tahun, dan beroperasi selama 24 jam nonstop. Di Indonesia, kebanyakan produksinya project based. Kepastian produknya dan kebutuhan pasar berubah-ubah sehingga kami tidak bisa stok," ujar Budiman.
Di sisi lain, penurunan harga dan perkembangan teknologi panel surya yang begitu cepat juga menjadi tantangan tersendiri bagi pabrikan modul surya dalam negeri. Perkembangan teknologi yang cepat menuntut pabrikan dalam negeri harus terus melakukan inovasi penggantian teknologi agar bisa memenuhi standar yang baru.
"Tiap 6 bulan ada teknologi baru yang keluar. Ini jadi tantangan kalau produksinya enggak signifikan," katanya.