Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) mencatat utang pemerintah hingga akhir Maret 2021 sebesar Rp6.445,1 triliun.
“Jumlah ini 41,6 persen dari PDB [produk domestik bruto] dengan indikator risiko yang terkendali,” tulis DJPPR atas laporan yang berjudul Debt Portfolio Review yang dikutip Selasa (18/5/2021).
Total tersebut terdiri atas utang rupiah 67,1 persen, valas 32,9 persen, utang bunga tetap 87,3 persen, dan utang bunga variabel 12,7 persen.
Dilihat dari risiko suku bunga secara kuartalan (quarter to quarter/qtq), DJPPR melihat angkanya masih terkendali. Meski ada tambahan surat berharga negara (SBN) bunga mengambang untuk belanja konsumsi publik pada 2020 sebesar sebesar Rp397,56 triliun, risiko bunga dianggap masih tetap terkendali.
Porsi utang dengan bunga mengambang dan proporsi utang yang akan jatuh tempo (refixing rate) pun semakin menurun.
Hal tersebut utamanya karena penerbitan utang yang memprioritaskan penerbitan tingkat bunga tetap dan minat investor cenderung ke SBN tenor menengah. Ini membuat realisasi penerbitan SBN di bawah target.
Risiko nilai qtq juga dilihat semakin baik. Porsi utang valas menurun searah dengan kebijakan untuk memprioritaskan penerbitan mata uang domestik.
Selain itu penerbitan SBN valas pada kuartal I/2021 yang dilakukan secara terukur dan pergeseran penarikan pinjaman program juga menjadi faktor pendukung menurunnya risiko nilai tukar.
Di sisi lain, risiko pendanaan kembali untuk qtq dalam batas wajar. Terdapat peningkat utang jatuh tempo karena tingginya minat investor dan partisipasi Bank Indonesia pada SBN tenor menengah panjang.
“Porsi utang jatuh tempo dalam 1,3, dan 5 tahun mengalami peningkatan karena memperbesar ukuran SBN ritel searah dengan permintaan investor dan peningkatan target penerbitan seri benchmark 2 dan 4 tahun,” tulis laporan DJPPR.