Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menilai mekanisme importasi gula untuk memenuhi pasokan yang selama ini berlaku sudah sesuai dan mengakomodasi upaya perlindungan harga di sisi petani. Tetapi, akurasi data menjadi tantangan dalam implementasi.
“Jika melihat kondisi sekarang, rakortas yang konsisten waktu pelaksanaannya tidak akan menjadi masalah. Namun apakah angkanya benar? Volume yang diterbitkan apakah sudah sesuai dengan kapasitas industrinya?” kata Direktur Eksekutif AGI Budi Hidayat, Kamis (29/4/2021).
Dia menyebutkan kebijakan nontarif dalam proses impor gula tetap diperlukan guna menjaga harga di petani, meskipun konsumen di Tanah Air harus membayar lebih dibandingkan dengan rata-rata harga di luar negeri.
Budi menyampaikan pula bahwa harga gula di tiap negara Asean tidak bisa serta-merta dibandingkan, begitu pula dengan harga antarsesama negara produsen.
“Di Thailand harga bisa murah di konsumen karena pemerintah menjaga harga di petani dan memberi subsidi output. Karena itu insentif produksi terjaga dan produksi mereka tinggi dan bisa tetap ekspor,” paparnya.
Budi mencatat pula harga gula yang cenderung tinggi di Indonesia tak lepas dari belum berhasilnya kebijakan teknis budidaya dalam mengerek produktivitas tebu di Tanah Air.
Data Departemen Pertanian Amerika Serikat menunjukkan bahwa rendemen tebu di Indonesia hanya berkisar di angka 7,56 sampai 8,07 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 9,2 persen, Thailand 10,7 persen, dan Australia 14,12 persen.
“Pabrik yang modern itu hanya berfungsi mengurangi risiko kehilangan saat proses giling, tetapi kuncinya tetap di kebun,” kata dia.