Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Hotel Keberatan Soal PP Royalti Lagu dan Musik

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Tamu W Bali Seminyak juga dapat bersantai di akhir pekan dengan menikmati pemandangan sunset dengan alunan musik yang groovy dan asyik dari Andy Chunes (PNNY / NL), Marc Roberts (Pantai People) dan Damian Saint pada 27 Maret 2021. /W Bali
Tamu W Bali Seminyak juga dapat bersantai di akhir pekan dengan menikmati pemandangan sunset dengan alunan musik yang groovy dan asyik dari Andy Chunes (PNNY / NL), Marc Roberts (Pantai People) dan Damian Saint pada 27 Maret 2021. /W Bali

Bisnis.com, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyampaikan keberatan terhadap beberapa aturan royalti lagu dan musik yang baru saja terbit.

Salah satunya karena hotel dan restoran dianggap memiliki nilai komersil yang sama seperti layanan publik lainnya, mulai dari karaoke hingga konser musik.

"Seharusnya ada grouping, tidak bisa disamaratakan," kata Maulana, dikutip dari tempo.co, Jumat (9/4/2021).

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 30 Maret 2021.

Salah satu pasal yang menuai keberatan PHRI adalah pasal 3. Dalam pasal tersebut, disebutkan 13 daftar layanan publik yang bersifat komersial yakni seminar, restoran, kafe, konser musik, pesawat udara, sampai kamar hotel.

Maulana menegaskan PHRI sebenarnya tidak pernah keberatan terhadap pungutan royalti atas penggunaan lagu. Sebab, pungutan royalti selama ini juga sudah berjalan setelah ada kesepakatan dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sejak 2016.

Kesepakatan ini, kata dia, adalah implementasi dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sehingga, Maulana menilai ketentuan royalti dalam PP 56 tersebut bukanlah hal baru dan pembayaran royalti juga sudah dilakukan.

Tapi dalam PP 56 ini, hotel dan restoran kemudian dianggap memiliki nilai komersil yang sama dengan layanan seperti usaha karaoke yang memang menggunakan musik. Konsekuensi yang bisa muncul adalah pembayaran royalti oleh hotel dan restoran bisa menjadi lebih besar dibandingkan nilai kesepakatan dengan LMKN pada 2016.

Maulana mengingatkan penggunaan musik di hotel dan restoran sifatnya masih menjadi pilihan. Ada yang memutar lagu dan ada yang tidak, tergantung kelas dari restoran dan hotelnya.

Maulana mencontohkan hotel-hotel kecil yang sama sekali tidak menggunakan musik. "Kalau tanpa musik, kan masih tetap bisa buka," kata dia.

Karena itu, Maulana menilai harus ada pembedaan nilai komersil antara hotel dan restoran dengan layanan publik lainnya. Selain itu, harus ada ketentuan yang jelas mengenai mekanisme pungutan royalti ini bagi hotel dan restoran yang menggunakan musik, dan yang tidak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Tempo.co
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper