Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketergantungan Impor, Pemerintah Perlu Alihkan Penggunaan LPG

Penggunaan LPG yang melonjak semakin menggelembungkan porsi impor.
Petugas melakukan tahap pengisian LPG pada tabung gas 3kg di SPBE Srengseng, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Petugas melakukan tahap pengisian LPG pada tabung gas 3kg di SPBE Srengseng, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com,JAKARTA – Pengalihan penggunaan Liquefied Petroleum Gas dengan energi dari dalam negeri dinilai merupakan upaya memangkas ketergantungan energi impor. 

Direktur Eksekutif ReForminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pengurangan impor LPG harus menjadi prioritas. Pasalnya, selain konsumsi  terus membesar, produksi LPG di dalam negeri juga cenderung rendah.

"Tren menunjukkan konsumsi dan impor LPG terus meningkat setiap tahun. Jika tidak berani melakukan perubahan, impornya akan semakin besar dan ini akan jadi beban pemerintah karena di subsidi," ujarnya, Rabu (7/4/2021). 

Berdasarkan proyeksi Kementerian Energi dan SUmber Daya Mineral (ESDM), impor LPG sampai 2024 akan mencapai 11,98 juta ton. Sementara produksi LPG hanya sebanyak 1,97 juta ton per tahun. Kapasitas produksi kilang LPG di dalam negeri sendiri ditargetkan sekitar 3,98 juta ton pada 2024. Akibat arus impor LPG yang kian membesar, khusus di 2021 saja pemerintah terpaksa mengalokasikan subsidi hingga senilai Rp37,85 triliun. 

Menurutnya, besarnya angka subsidi LPG tersebut sejatinya bisa digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur gas bumi. Selain sumber gas bumi masih sangat besar, selama ini penggunaan gas bumi terbukti lebih efisien dan aman. 

Kuncinya, lanjut dia, Pemerintah serius dan konsisten untuk mendorong pembangunan infrastruktur. Ia menyayangkan beberapa program pembangunan jaringan gas (jargas) untuk rumah tangga hingga kini hasilnya tidak optimal. 

"Perlu ada konsistensi dan komitmen riil bahwa program yang baik seperti pembangunan jargas  4 juta rumah tangga bisa diwujudkan. Energi ini adalah kebutuhan yang terus menerus, karena itu perlu kebijakan yang komprehensif, jangan parsial apalagi coba-coba," tegas dia. 

Kementerian ESDM sejauh ini  sudah memulai program jargas sejak 2009. Sesuai RPJMN yang telah ditetapkan, sampai 2024 ditargetkan mampu dibangun jargas hingga 4 juta sambungan rumah tangga (SR). Meski program ini sudah berjalan lebih dari 12 tahun sampai saat ini yang terbangun  535.555 SR.

Menurut Komaidi, rendahnya realisasi pembangunan jargas SR ini berdampak pada gas bumi yang sumbernya sangat besar di dalam negeri lebih banyak di ekspor. Sementara untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri pemerintah lebih banyak mengadalkan LPG yang harus diimpor dan memberikan subsidi yang angkanya mencapai puluhan triliun tiap tahunnya. 

"Sebenarnya semua tahu bahwa gas bumi lebih efisien. Hanya saja dibutuhkan keberanian pemerintah untuk mengambil langkah besar untuk mengoptimalkan sumber energi dalam negeri dan bukan justru mengandalkan impor yang merugikan," tegasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper