Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo telah memberikan mandat kepada PT Bio Farma (Persero) sebagai pelaksana pengadaan vaksin Covid-19 di Indonesia.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Terkait hal tersebut, dalam rapat bersama Komisi VI DPR, perseroan ditanya soal keuntungan sebagai pemegang mandat tersebut.
Seperti diketahui, pemerintah menargetkan 180 juta orang mendapatkan vaksin Covid-19 untuk membuat kekebalan terhadap virus Corona. Dengan demikian Indonesia membutuhkan sedikitnya 426 juta dosis vaksin, dihitung dengan asumsi 1 orang membutuhkan dua dosis dan juga vaksin yang akan terbuang.
Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan bahwa proses penetapan harga vaksin berdasarkan jenis vaksin. Indonesia memiliki komitmen mendatangkan vaksin dari beberapa produsen.
"Harga yang kami dapat, kami hitung total, harga posisi di negara asal ditambah biaya logistik, distribusi. Harga ini yang akan diverikasi BPKP," katanya, Senin (29/3/2021).
Harga tersebut kemudian diserahkan kepada Kementerian Kesehatan sebagai usulan dari Bio Farma.
Sejauh ini dalam program vaksinasi pemerintah, Bio Farma mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan telah menetapkan margin untuk vaksin yang telah diproduksi Bio Farma. "Kontrak dari Kementerian Kesehatan ada sekian persen margin," katanya.
Sementara itu Honesti mengatakan bahwa saat pertama kali mendatangkan vaksin Sinovac dalam bentuk jadi, Bio Farma mendapatkan harga US$17 per dosis atau Rp245.863 dengan kurs Rp14.462. "Kita nego ada sekian dosis yang free, harga akhir US$13,3," kata Honesti.
"Ada perbedaan US$3 [Rp43.387] per dosis," jelasnya.
Oleh karena itu, Honesti mengatakan bahwa lebih efisien mendatangkan bahan baku vaksin Covid-19 dibandingkan dengan mengimpor vaksin jadi. Selain lebih murah, dalam proses pengolahannya juga memberikan keuntungan kepada produsen vial atau wadah penampung vaksin lokal.