Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mempertanyakan ketentuan minimal cadangan beras pemerintah (CBP) minimal sebanyak 1 juta ton yang diamanatkan pemerintah kepada perusahaan. Seiring dengan berkurangnya kanal penyaluran beras Bulog, volume tersebut dinilai tak lagi relevan.
“Kami menyerap beras 2 juta ton pun bisa. Hanya saja, mau dikemanakan?” kata Budi dalam diskusi daring, Kamis (25/3/2020).
Sosok yang akrab disapa Buwas itu memberi contoh pada realisasi peyaluran beras oleh perusahaan yang baru mencapai 140.000 sampai Maret 2021. Volume CBP yang tersalur itu mencakup 125.520 ton untuk operasi pasar, tanggap darurat dan bencana dengan volume 1.134 ton, dan anggaran 15.000 ton.
Jika dikalkulasi, rata-rata stok CBP yang bisa tersalur setiap bulannya hanya 50.000 ton atau 600.000 ton dalam setahun. “Dengan ruang penyaluran itu, kami seharusnya hanya menyiapkan penyerapan riil paling besar 800.000 ton,” lanjutnya.
Dia mengemukakan ketentuan stok minimal CBP dengan volume 1 sampai 1,5 juta ton ditetapkan pada 2018 melalui rapat koordinasi terbatas tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengantisipasi Pemilihan Umum 2019. Budi mengatakan sifat keputusan tersebut sementara dan tidak bersifat tetap.
“Itu keputusan sementara, bukan tetap karena waktu itu menjelang Pemilu. [Namun] keputusan itu dipakai sampai sekarang padahal hilirnya tidak ada. Pertanyaan saya dengan [beban] pinjaman [Bulog] tadi, siapa yang bertanggung jawab dengan CBP ini?” kata Budi.
Baca Juga
Budi mengemukakan permasalahan penyaluran CBP selalu diutarakan perusahaan setiap rakortas. Namun tidak pernah ada solusi yang dicapai. Masalah ini jugalah yang terjadi pasa sisa beras pengadaan luar negeri pada 2018 sekitar 300.000 ton yang berpotensi turun mutu dan tidak bisa disalurkan.
Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika juga menyoroti soal potensi maladministrasi atau cacat administrasi dalam pengelolaan CBP sehingga menimbulkan munculnya permasalahan beras turun mutu.
Temuan awal oleh Ombudsman RI menunjukkan bahwa polemik yang mengiringi rencana impor beras tak lepas dari belum sinkronnya kebijakan pengadaan beras Perum Bulog dan penyalurannya. Terbatasnya kanal penyaluran disebut Yeka memengaruhi realisasi pengadaan Perum Bulog.