Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menilai penurunan harga nikel dunia tidak seluruhnya berdampak negatif terhadap keberlangsungan industri di dalam negeri. Di sisi lain, penurunan harga tersebut justru memberi masa depan yang lebih baik terhadap masa depan logam hitam itu.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Septian Hario Seto berpendapat bahwa kenaikan harga nikel yang sebelumnya terjadi disebabkan karena keterbatasan pasokan dari tambang untuk memenuhi kebutuhan mobil listrik.
Sementara itu, penurunan harga nikel yang disebabkan kabar dari perusahaan China Tsingshan Holding Group yang disebut mampu mengolah nickel pig iron menjadi nickel matte yang digunakan sebagai bahan baku baterai litium dalam jumlah besar.
"Kalau ini [nikel] harganya terlalu tinggi dan itu suplainya tidak bisa memenuhi itu, orang bisa berinovasi untuk menggantikan nikel dari komponen litium baterai ini. Nah, kalau itu terjadi kan itu tidak bagus untuk Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia," katanya kepada Bisnis, Senin (23/3/2021).
Dia berpendapat bahwa nikel masih akan menjadi buruan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Alasannya, dengan proyeksi pertumbuhan mobil listrik ke depannya, jumlah tambang yang ada saat ini masih belum mencukupi kebutuhan nikel untuk bahan baku baterai.
Menurut Septian, dengan harga nikel yang masih berada pada kisaran US$16.000 per ton relatif masih menguntungkan bagi industri smelter di dalam negeri. Rata-rata biaya produksi nikel di dalam negeri pada saat ini berada pada kisaran US$7.000—US$8.000 per ton.
"Saya lihat selama harganya masih di atas US$11.000 per ton, keekonomiannya, return of investment-nya masih lumayanlah," ungkapnya.