Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ade Tarya Hidayat menilai keberpihakan pemerintah kepada industri alkes dalam negeri belum terwujud. Hal ini jelas terlihat dari tiga indikasi dari sektor alkes.
Pertama, belanja alkes masih didominasi kurang lebih 90 persen produk impor. Kedua, bea masuk produk jadi alkes impor lebih kecil daripada bea masuk bahan baku atau komponen alkes yang dibuat dalam negeri. Ketiga, industri alkes jauh lebih kecil dari industri farmasi, sekitar 15 hingga 20 persennya saja.
"Oleh karena itu, kami memandang bahwa perluasan pajak terhadap sektor industri alkes untuk meningkatkan pendapatan negara pada saat ini tidak tepat," katanya kepada Bisnis Rabu (10/3/2021).
Aspaki pun berharap agar regulasi perpajakan dapat berpihak kepada industri alkes di dalam negeri yang masih berada di tahap perintisan sehingga menciptakan momentum yang sangat baik untuk kemandirian alkes lokal.
Untuk itu, sejumlah hal yang bisa dilakukan di antaranya perluasan pajak diterapkan terhadap produk alkes impor dan insentif kepabeanan atau kebijakan stimulus untuk industri alkes dalam negeri dalam bentuk pembebasan bea masuk dan pengurangan pajak penghasilan badan.
"Kami mendukung regulasi pemerintah dan senantiasa mendorong anggota Aspaki taat regulasi termasuk regulasi kepabeanan dan perpajakan. Namun, kami juga sangat berharap regulasi pemerintah dapat membantu industri alkes dalam negeri untuk berkembang sehingga dapat menjadi tuan rumah di negaranya sendiri," kata Ade.
Pemerintah berencana memperluas basis pajak di tiga industri pengolahan sebagai upaya mendongkrak penerimaan.
Secara terperinci, perluasan basis pajak akan dilakukan di industri makanan dan minuman yang mencakup produk sawit, produk makanan kesehatan (sarang burung walet), produk pakan ternak.
Kemudian industri farmasi yang meliputi obat herbal maupun tradisional, serta industri alkes yang mencakup alat pelindung diri (APD), masker, alat olahraga, dan sepeda.
Pemerintah dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak 2020 mencatat langkah ini dilakukan dengan mempertimbangkan referensi dari beberapa literatur ekonomi tentang faktor industri yang tidak terdampak atau terdampak positif Covid-19.
Sekjen Gabungan Alkes Indonesia (Gakeslab) Randy H. Teguh juga mengatakan jika berkaca pada kondisi pandemi Covid-19 saat ini, tampak ada pemahaman yang perlu dibenahi. Dia mengutarakan pertumbuhan memang terjadi pada produk alkes, tetapi hanya yang berkaitan dengan penanganan Covid-19.
"Mereka yang dapat keuntungan hanya yang berkaitan dengan Covid-19 dan juga untuk penanganan pasien seperti jarum suntik, perban, juga untuk alkes yang diperlukan rumah sakit yang menambah kamar misalnya tempat tidur. Namun, banyak juga yang jeblok karena tidak bisa berpraktik," paparnya.
Randy mencontohkan kondisi merugi dirasakan sejumlah alkes untuk dokter gigi atau dokter THT (telinga hidung tenggorokan) yang tidak bisa berpraktik selama pandemi. Untuk itu, sejak awal kondisi ini terjadi, pihaknya selalu mengajukan komplain jika dianggap sebagai industri yang mendapat nilai positif.