Bisnis.com, JAKARTA – Berbagai insentif perpajakan yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha dianggap sudah selayaknya dievaluasi.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa kenyataaannya, stimulus kepada pengusaha ini belum dapat mencapai target yang ditentukan.
Dia mencontohkan investasi yang masuk ke Indonesia belum ke level yang lebih optimal. Tak hanya itu, rasio pajak juga masih jauh dari harapan.
“Karena kalau bicara rasio pajak, memang sebelum pandemi sulit bergerak dari angka 11 persen sampai 12 persen terhadap PDB [produk domestik bruto],” katanya saat dihubungi, Minggu (7/3/2021).
Yusuf menjelaskan apabila kebijakan tersebut harus diubah atau direvisi, kebutuhan masing-masing industri berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karena itu, tambahan setiap sektor bisa menjadi alternatif.
Industri padat modal misalnya, yang membutuhkan barang impor pendukung. Pelaku usaha di bidang tersebut tentu butuh insentif pajak barang impor.
Baca Juga
“Di samping itu prosedural bagaimana mendapatkan insentif juga harus dibuat secara jelas dan sederhana. Tentu pelaku usaha atau investor tidak ingin dihadapkan pada sistem prosedural yang terlalu rumit,” jelasnya.
Usulan untuk mengevaluasi menguat seiring dengan munculnya kasus korupsi di lingkungan pengumpul pajak. Semua lini perlu diperbaiki mulai dari tata pengelolaan hingga kebijakannya.
Dilihat dari masalah realisasi penerimaan lebih rendah dari target (shoftfall), tidak hanya terjadi tahun 2020 karena efek pandemi Covid-19. Shortfall pada 2018 mencapai Rp108,1 triliun dan di tahun 2019 mencapai Rp245,5 triliun.
Di sisi lain berbagai insentif terus dikeluarkan. Yang terbaru, tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18/2021 tentang Cipta Kerja di bidang PPh, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah mengatur kriteria keahlian tertentu serta pengenaan PPh bagi WNA.