Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah turun langsung dan tidak menggunakan pola business to business (B to B) atau menyerahkan ke badan usaha milik negara (BUMN) dalam kerja sama dengan LG Energy Solution. Investasi perusahaan asal Korea Selatan senilai US$9,8 miliar atau Rp142 triliun ini menjadi terbesar sejak era reformasi.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa kerja sama pembangunan industri sel baterai kendaraan listrik tersebut merupakan salah satu investasi strategis nasional. Banyak permintaan yang perlu dinegosiasikan.
“Salah satunya kami meminta pengolahan ore nikel minimal 70 persen harus jadi prekursor, katoda, dan baterai sel. Kita tidak ingin lagi kalau B to B [business to business], negara tidak ikut [dalam mengatur perjanjian]. Rambu-rambu tidak diatur negara,” katanya melalui konferensi pers secara virtual, Rabu (30/12/2020).
Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah belajar dari pengalaman sebelumnya. Itulah mengapa dalam investasi ini harus turun tangan. Dengan begitu, penanaman modal mendapatkan nilai tambah dari hulu sampai hilir.
Pengusaha lokal serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun harus dilibatkan seperti yang tertera dalam perjanjian. Bahlil mengimbuhkan, bila kerja sama dilakukan secara B to B, pengusaha lokal tidak dilibatkan.
"Saya tidak mau kecolongan seperti itu,” tegas Bahlil.
Pengembangan industri baterai listrik terintegrasi tambah Bahlil, merupakan langkah mendorong transformasi ekonomi menuju Indonesia Maju 2045. Hilirisasi pertambangan adalah salah satu wujud transformasi tersebut.
Menutu Bahlil, Indonesia akan naik kelas dari produsen dan eksportir bahan mentah menjadi pemain penting pada rantai pasok dunia untuk industri baterai kendaraan listrik. Adapun baterai memegang peranan kunci bisa mencapai 40 persen dari total biaya untuk membuat sebuah kendaraan listrik,” ucapnya.