Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Energi Nasional mengatakan bahwa transisi energi diharapkan bisa terealisasi secepat mungkin guna mencapai ketahanan energi domestik. Upaya ini bisa mengurangi ketergantungan impor minyak dan liquefied petroleum gas.
"Harapan transisi ini cepat terealisasi. Kalau lambat nanti impor LPG, impor bensin, dan juga impor crude [minyak mentah] sebagai bahan baku kilang akan makin besar," kata Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto melalui siaran pers, Rabu (9/12/2020).
Dia menjelaskan bahwa transisi energi menjadi paradigma baru dalam pengelolaan sektor energi dan sumber daya mineral di Indonesia.
"Kalau paradigma [pengelolaan energi] memang sudah mulai terjadi perubahan. Dulu energi kita itu menjadi andalan devisa negara dan pendapatan di APBN kita. Sekarang menjadi andalan utama bagi pertumbuhan ekonomi dan sebagai alat pencipta lapangan kerja," katanya.
Bonus demografi dan pertumbuhan ekonomi menggeser kebutuhan konsumsi energi. Djoko menuturkan bahwa pergeseran paradigma ini ditandai dengan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumi.
"Dulu produksi kita terutama minyak melebihi dari kebutuhan. Produksi bisa 1,5 juta barrel per day, sedangkan konsumsi kita cuma 800 barrel per day sehingga kita bisa ekspor sebagai penghasil devisa," katanya.
Baca Juga
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tingkat konsumsi makin meningkat dan tidak dibarengi dengan tingkat produktivitas energi fosil yang terus mengalami deklanasi.
"Sekarang kontribusi hulu migas [sebagai penghasil devisa] sejak 2016 di bawah 10 persen sekitar 5 persen—6 persen," ungkap Djoko.
Guna menjawab tantangan tersebut, Kementerian ESDM tengah menyiapkan regulasi khusus untuk mempercepat pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
"Kementerian ESDM telah mengirimkan draf Peraturan Presiden EBT sehingga diharapkan EBT bisa terjangkau bagi masyarakat dan investor," imbuhnya.