Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kabar Kesuksesan Vaksin Covid Tak Ampuh, Ekonomi Global Masih Suram

Kondisi ini dipicu oleh lonjakan kasus dan prospek kontraksi ekonomi di beberapa kawasan, termasuk Jepang dan zona Euro.
Pedagang bekerja di lantai bursa New York Stock Exchange./ Michael Nagle - Bloomberg
Pedagang bekerja di lantai bursa New York Stock Exchange./ Michael Nagle - Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Keberhasilan pengembangan vaksin sudah di depan mata. Namun, dampak vaksin terhadap pulihnya ekonomi dunia masih harus ditunda karena distribusi yang akan memakan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan.

Terlebih melonjaknya kasus virus di sejumlah belahan dunia juga memicu kekhawatiran akan penurunan baru ekonomi dunia. Bank sentral dan pemerintah semakin ditekan untuk memacu permintaan.

Ekonom Wall Street kini memperkirakan, ekonomi Amerika Serikat, kawasan euro, dan Jepang akan kembali terkontraksi kuartal ini atau triwulan berikutnya, beberapa bulan setelah kebangkitan dari resesi terparah dalam sejarah. Data frekuensi tinggi Bloomberg Economics juga menunjukkan penurunan ganda.

Kondisi itu mendesak pembuat kebijakan untuk terus mengalirkan stimulus, bahkan ketika ruang bank sentral semakin sempit. Sementara itu, politisi dari AS hingga Eropa sedang berdebat mengenai besaran kebijakan fiskal untuk mendanai stimulus.

"Meskipun ada banyak kegembiraan atas kemajuan pengembangan vaksin, ini tidak akan menjadi perbaikan cepat seperti yang diharapkan banyak orang,” kata Menteri Perdagangan dan Industri Singapura Chan Chun Sing, dilansir Bloomberg, Selasa (24/11/2020).

Dengan latar belakang seperti itu, Bank Sentral Eropa akan kembali melonggarkan kebijakan moneter bulan depan, sementara Federal Reserve dapat lebih berkonsentrasi pada pembelian obligasi pada sekuritas jangka panjang untuk menekan suku bunga.

Namun ada kekhawatiran bank sentral telah kehabisan ruang untuk bertindak tegas dan kondisi keuangan yang lebih longgar tidak akan menghasilkan dorongan ekonomi.

Dana Moneter Internasional (IMF) termasuk di antara yang memperingatkan kenaikan harga aset yang berpotensi mengarah pada keterputusan dari ekonomi riil sehingga dapat menimbulkan ancaman stabilitas keuangan.

"Ada banyak tabungan dan kekurangan investasi, yang merupakan masalah inti yang dihadapi negara-negara maju. Kami harus memiliki kebijakan fiskal, kebijakan struktural selain hanya mengandalkan bank sentral untuk mencapai pertumbuhan yang sehat," kata Janet Yellen, mantan Gubernur Fed yang akan ditempatkan sebagai menteri keuangan oleh Presiden terpilih Joe Biden.

Masalah lain yakni kebijakan fiskal yang masih dalam perdebatan di parkemen AS hingga Eropa. Anggota parlemen di AS berselisih tentang berapa banyak lagi yang harus dibelanjakan saat Biden bersiap menjabat.

Departemen Keuangan Presiden Donald Trump minggu lalu mengurangi kemampuan Fed untuk membantu beberapa pasar kredit. Sementara di Eropa, US$2 triliun bantuan ditahan oleh perebutan kontrol politik.

"Tepat pada saat bank sentral di mana-mana mengakui sentralitas kebijakan fiskal dalam menghadapi konsekuensi ekonomi dari pandemi, pemerintah menghadapi kesulitan dalam melaksanakan langkah stimulus berikutnya,” kata Gilles Moec, kepala ekonom di AXA SA.

Di AS, laju infeksi mendorong analis JPMorgan Chase & Co. memperkirakan penyusutan ekonomi pada kuartal berikutnya karena sejumlah negara bagian memberlakukan pembatasan jarak sosial dan beberapa tunjangan pemerintah berakhir. Data terbaru menunjukkan lebih banyak orang yang mengajukan tunjangan pengangguran dan lebih sedikit makan di restoran.

"Ada kemungkinan kita bisa mengalami pertumbuhan negatif jika kebangkitan ini menjadi cukup buruk dan mobilitas turun cukup," kata Presiden Fed Dallas, Robert Kaplan.

Di Eropa, indeks PMI manufaktur pada Oktober turun tajam menjadi 45,1 dibandingkan dengan 50 pada bulan sebelumnya.

Selain itu di Jepang, data awal PMI November juga menunjukkan penurunan pada sektor manufaktur dan jasa.

Perdana Menteri Yoshihide Suga telah meminta anggaran tambahan ketiga untuk menjaga ekonomi tetap pada jalur pertumbuhan.

IMF dan G20 telah memperingatkan bahwa pemulihan berisiko tergelincir meski perkembangan tentang vaksin menopang sentimen saham global.

Sementara itu China adalah satu-satunya negara ekonomi besar dunia yang diperkirakan akan tumbuh pada 2020 karena kendali awal pemerintah terhadap virus tersebut.

Pemulihan perdagangan China yang juga mendorong arus global kini bahkan masih rentan terpengaruh faktor ketidakpastian dunia.

Gubernur Fed Jerome Powell dan Presiden ECB Christine Lagarde termasuk diantara yang memperingatkan untuk menahan antusiasme keberhasilan uji coba vaksin.

Selain dibutuhkan waktu lama untuk distribusi, pengumuman vaksin itu sendiri dapat mendorong optimisme pasar, tetapi tidak membuka kembali ekonomi untuk saat ini.

"Vaksin memberikan lebih banyak visi untuk apa yang mungkin terjadi akhir tahun depan, dan seperti apa 2022 akan terlihat, tetapi tidak untuk enam bulan ke depan. Situasi tidak akan membaik secara materi pada minggu-minggu terakhir 2020," kata kepala ekonom ECB Philip Lane.

Pandangan muram tersebut mengiringi dorongan rencana program pembelian obligasi darurat sebesar 1,35 triliun euro (US$1,6 triliun) dan pinjaman murah oleh ECB. Pembuat kebijakan akan bertemu pada 10 Desember mendatang.

Sementara itu, sektor-sektor yang terkena dampak terburuk terus mengurangi pekerjaan. Boeing Co. hampir menggandakan PHK yang direncanakan sementara Adidas AG menjadi salah satu perusahaan barang konsumen pertama di Eropa yang memperingatkan bahwa penguncian baru akan membebani pendapatannya lagi dan segera mengakhiri rebound penjualan baru-baru ini.

Analis JPMorgan berharap bahwa vaksin dan dukungan fiskal tambahan senilai US$1 triliun di AS akan cukup untuk memberikan pertumbuhan rata-rata lebih dari 5 persen pada kuartal pertengahan 2021.

Namun, krisis virus akan meninggalkan rekor utang dan pengangguran yang meningkat. Adapun, para ekonom di ABN Amro Group NV melihat pembatasan mobilitas di seluruh dunia berlangsung hingga 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper