Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Haryo Kuncoro adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Lihat artikel saya lainnya

Risiko Sistemik Konglomerasi Keuangan, Sebagian di Luar Ranah OJK

Faktanya, potensi risiko sistemik tidak hanya semata-mata berawal dari sektor keuangan itu sendiri tetapi bisa juga muncul dari sektor-sektor lain yang berada di luar ranah tugas OJK.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan Peraturan OJK No. 45 Tahun 2020 tentang konglomerasi keuangan. Menurut beleid tersebut, OJK menetapkan kriteria baru pada grup usaha yang masuk dalam kategori konglomerasi keuangan, yakni memiliki aset minimal Rp100 triliun.

Terbitnya regulasi di atas seolah merupakan respons cepat atas sorotan tajam yang selama beberapa bulan terakhir tertuju pada fungsi pengawasan OJK. Wacana pengembalian mandat pengawasan perbankan ke Bank Indonesia dan bahkan sampai pada pembubaran OJK seakan menjadi justifikasinya.

Peraturan OJK tersebut secara khusus juga ditujukan untuk menjawab Laporan Bank Dunia yang bertajuk Risiko Ekonomi Global dan Implikasinya terhadap Indonesia pada September 2019. Bank Dunia menyebut masalah pengawasan konglomerasi keuangan perlu menjadi perhatian OJK.

Apapun dalilnya, konglomerasi keuangan di Indonesia senantiasa memerlukan pengawasan ekstra dari OJK. Sejauh ini, sedikitnya ada 48 konglomerasi keuangan dengan nilai aset Rp7.187 triliun. Dari jumlah itu, terdapat 10 bank kategori konglomerasi keuangan dengan porsi 67% dari total aset.

Fenomena konglomerasi keuangan secara teoretis memang tidak terhindarkan. Sektor keuangan tipikal adalah industri padat dana. Pemilik lembaga jasa keuangan (LJK) dituntut untuk memiliki modal awal yang besar guna memulai usaha intermediasi keuangan.

Fungsi intermediasi menjembatani antara pemilik dana berlebih dan pihak yang butuh dana. Dana yang terhimpun diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana debitur. Jika kebutuhan debitur lebih besar daripada dana terhimpun, LJK menyertakan modal sendiri dan/atau mencari sumber pembiayaan lain. Di sisi lain, pasokan dana dari LJK adalah salah satu alternatif.

Bagi debitur, opsi pembiayaan juga bisa diperoleh dari pasar modal. Ongkos perolehan dana menjadi pertimbangan utama bagi debitur dalam mengambil keputusan sumber pembiayaan ekspansi usaha. Apakah memanfaatkan dana dari LJK atau dari pasar modal.

Kemungkinan peralihan sumber pembiayaan dunia usaha semacam ini tak lepas dari radar LJK. LJK kemudian mendirikan anak perusahaan yang bergerak di pasar modal untuk menggarap ceruk pasar ini. Alhasil, satu LJK–dengan kekuatan dana yang dimilikinya–mampu melayani kedua segmen pasar tersebut.

Akar permasalahan di pasar kredit dan di pasar modal sejatinya tetap sama, yakni ketidakseimbangan informasi. Di pasar uang, informasi yang tidak simetri terjadi antara nasabah dan LJK. Pemilik dana sangat minim informasi, sehingga tidak bisa mengontrol ke mana alokasi penyaluran dananya yang disimpan di LJK.

Problem informasi asimetri juga ditemui antara LJK dan debitur di pasar modal. Debitur niscaya jauh lebih paham akan kondisi perusahaannya. Pengetahuan LJK atas calon debiturnya terbatas hanya dari dokumen proposal yang diajukan. Pengecekan ke lapangan untuk memvalidasi data pun sering tidak optimal.

Informasi asimetri potensial memunculkan perilaku ceroboh. Di satu sisi, LJK semakin berani menanggung risiko guna mengejar imbal hasil yang tinggi dan seakan mengesampingkan kepentingan nasabah. Di sisi lain, LJK menggunakan sumber dana dari dan menyalurkannya pada perusahaan satu kelompok demi menekan potensi kerugian.

Dengan konfigurasi problematika di atas, penguatan kapasitas LJK menjadi titik tolak yang krusial. Per definisi, LJK terklasifikasi sistemik ketika ia mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan LJK lain, baik secara operasional maupun finansial jika LJK tersebut mengalami gangguan atau gagal.

Oleh karenanya, dengan aset besar yang dimiliki, interkonektivitas anak usaha, dan kompleksitas bisnis, LJK secara internal harus siap merespons tekanan keuangan. Tujuannya untuk mencegah, memulihkan, dan memperbaiki kelangsungan usaha LJK agar tidak jatuh dan berefek domino bagi perekonomian melalui mata rantai jaringannya.

Pengalaman krisis ekonomi 1997-1998 dan krisis finansial 2008 memberi pelajaran sangat berharga. Penyelamatan 16 bank pada 1998, misalnya, tepat dilakukan pada saat krisis moneter sedang terjadi. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan sangat mahal hingga 60% dari produk domestik bruto.

Demikian pula, upaya penyelamatan Bank Century—yang terus menimbulkan polemik—sebenarnya dilatarbelakangi oleh spirit agar nasabah pemilik dana tidak terpengaruh oleh kondisi sebuah bank. Bank adalah bisnis kepercayaan. Ketidakpercayaan pada satu bank niscaya akan berimbas pada bank-bank lain.

Dalam konteks ini, peraturan OJK ini juga dibuat saat krisis pandemi Covid-19, sehingga suasana batinnya tidak berbeda. Ketentuan minimal Rp100 triliun bisa diistilahkan sebagai ‘menggunaan masker’ agar tidak menularkan dan ditulari. Konkretnya, pencegahan LJK bermasalah mutlak berasal dari dalam LJK itu sendiri.

Lebih lanjut, ketentuan aset minimum Rp100 triliun bagi konglomerasi keuangan agaknya baru sebatas prasyarat awal untuk mencegah potensi risiko sistemik. Faktanya, potensi risiko sistemik tidak hanya semata-mata berawal dari sektor keuangan itu sendiri tetapi bisa juga muncul dari sektor-sektor lain yang berada di luar ranah tugas OJK.

Konsekuensinya, fungsi pengawasan yang diemban OJK harus mampu meng-capture semua mata rantai yang membentuk konglomerasi keuangan. Kerja sama pengawasan dengan lembaga lain senantiasa diperlukan agar setiap potensi risiko sistemik sekecil apapun yang akan muncul bisa diantisipasi sejak dini.

Pada akhirnya, regulasi ini diharapkan bisa menjaga kepercayaan terhadap industri jasa keuangan. Dalam jangka panjang, ekspektasi atas postur industri keuangan Indonesia yang sehat, mandiri, dan kompetitif, serta berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional dapat segera terwujud.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Haryo Kuncoro
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper