Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Imron Rosyadi

Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Imron Rosyadi dosen Jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Lihat artikel saya lainnya

4 Paradoks Serapan Anggaran Daerah

Pemda tidak perlu lagi dihantui rasa ‘takut korupsi’, sepanjang anggaran belanja daerah itu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Realokasi APBD selama pandemi Covid-19
Realokasi APBD selama pandemi Covid-19

Sepanjang masa pandemi, pemerintah pusat berhasil mengakselerasi belanja negara sebesar Rp1.841,10 triliun, atau sekitar 67,21% dari pagu Perpres 72/2020 (Kemenkeu, 2020). Realisasi belanja tersebut meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.211,40 triliun (61,3%) dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp629,70 triliun (82,4%).

Namun sayangnya, kualitas serapan anggaran daerah belum sesuai harapan. Pasalnya, masih banyak pemerintah daerah (Pemda) yang mengendapkan anggarannya di bank-bank umum.

Mendagri (2020) mengungkapkan ada sejumlah Pemda yang tidak membelanjakan dana transfer untuk pembangunan derahnya, tetapi disimpan di bank.

Menurut Mendagri, total dana yang disimpan di bank mencapai Rp252,78 triliun. Pengendapan dana anggaran yang terlalu lama, tentu tidak boleh dipandang enteng.

Hal ini melainkan persoalan krusial yang tidak hanya menyangkut pengalokasian belanja Pemda an sich, tapi dampak yang ditimbulkan terhadap keberlangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Misalnya, proyek-proyek produktif yang seharusnya dapat menstimulus geliat ekonomi kerakyatan, menjadi terganggu, karena dana yang digunakan untuk mendanai proyek itu belum atau/tidak bisa dicairkan dengan segera.

Hal itu mengingat, fungsi APBD sebagai instrumen kebijakan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah, sehingga penyusunan APBD pun harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan keunggulan, karakteristik/kekhasan, dan potensi yang dimiliki setiap daerah.

Di sisi lain, problem itu akan makin rumit apabila dikaitkan dengan dana perimbangan pemerintah pusat dan daerah yang salah satu instrumennya adalah dana alokasi umum (DAU).

Menurut UU No. 33/2004, DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Interpretasinya, DAU itu tidak boleh disimpan terlalu lama di bank, karena dana itu bersifat block grant, yang berarti penggunaanya diserahkan kepala daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Argumennya, karena DAU itu dikucurkan atas permintaan daerah untuk memenuhi hajatnya di daerah, maka tidak elok jika dana itu diendapkan, dan/atau tidak segera dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan, yang sebelumnya telah diajukan dan disetujui oleh pusat.

Indikasi Penting

Jadi, menurut hemat penulis, mengendapnya dana anggaran belanja daerah, mengindikasikan sejumlah hal penting. Pertama, produktivitas anggaran sangat rendah.

Anggaran yang tidak terserap selama satu tahun anggaran, mengindikasikan Pemda kurang produktif dalam mengelola dana belanjanya. Padahal dalam penyusunan APBD didasarkan atas kinerja, maknanya harus ada relasi antara belanja/pengeluaran dengan kinerja yang dihasilkan. Jadi, jika daya serap anggarannya rendah, otomatis kinerja pemerintahannya juga rendah, terutama pertumbuhan ekonomi daerah menjadi rendah.

Kedua, pengelolaan anggaran tidak efisien dan efektif. Dalam konteks penganggaran, efisien dan efektif itu berkaitan dengan penghematan dana (input) yang dikeluarkan oleh Pemda, seyogyanya bisa menghasilkan ouput (PDRB) yang tinggi. Namun, pengendapan anggaran menjadi paradoks, karena dampaknya justru memperlambat pemulihan ekonomi daerah, bahkan nasional.

Ketiga, rendahnya kreativitas dan inovasi Pemda. Parkirnya dana belanja daerah di bank, diduga kuat karena Pemda ‘kesulitan’ menghabiskan anggarannya dalam setahun. ‘Kesulitan’ itu lebih disebabkan daerah kurang kreatif dan inovatif, baik dalam penyusunan APBD maupun pada saat mengeksekusi anggaran.

Keempat, APBD tidak pro-poor, pro-job dan progrowth. Menurut UU tentang Keuangan Negara, APBD itu salah satunya memiliki fungsi alokasi, artinya daerah harus mengalokasikan pos belanjanya untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang kontraproduktif, di mana pemerintah daerah ‘membiarkan’ ratusan trilun dana itu menjadi kurang produktif.

Hal itu bisa dibuktikan dengan masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di daerah, justru terjadi hampir bersamaan dengan maraknya fenomena daerah mengendapkan dana belanjanya di bank.

Kita berharap, Pemda tidak perlu lagi dihantui rasa ‘takut korupsi’, sepanjang anggaran belanja daerah itu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Imron Rosyadi
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper