Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat pertanian dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Pantjar Simatupang berpendapat Indonesia tak perlu melakukan impor beras menyusul potensi produksi beras yang akan meningkat pada 2020.
Berdasarkan penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi 2020 diperkirakan akan meningkat 1,02 % dibandingkan dengan tahun lalu.Produksi padi ditaksir mencapai 55,16 juta ton gabah kering giling (GKG) atau bertambah 556.510 ton dibandingkan dengan 2019 yang mencapai 54,60 juta ton GKG.
“Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020 ini. La Nina dalam dua bulan ke depan harus dijadikan peluang untuk memacu peningkatan produksi padi musim tanam 2020/2021 sehingga pada 2021 pun tidak perlu impor beras,” ujar Pantjar dikutip dari keterangan resmi Kementerian Pertanian, Selasa (27/10/2020).
Dia menjelaskan tidak perlunya impor beras bukan semata-mata karena terjadi peningkatan produksi padi tersebut. Namun, ada beberapa pertimbangan kunci yang menjadi penentu kebijakan impor beras.
“Pertama, stok beras Bulog pada akhir tahun mencukupi jika sekitar 1,0 sampai 1,5 juta ton. Realitasnya, Bulog mengatakan bahwa stok beras pada awal Januari 2020 adalah 2,2 juta ton, sedangkan hingga pertengahan Oktober 2020 volume serapan gabah petani mencapai 988.000 ton setara beras dan penyaluran 1,56 juta ton, sehingga stok adalah 1,628 juta ton. Stok Bulog pada akhir Desember 2020 diperkirakan aman di sekitar 1,5 juta ton,” paparnya.
Pertimbangan kedua, kata Pantjar, mengacu norma FAO bahwa stok beras nasional cukup dengan Stock Utilization Ratio (SUR) di atas 18%. Sementara itu, Kementan menyebutkan stok pada awal Januari 2020 mencapai 5,90 juta ton, produksi sebesar 31,63 juta ton, dan konsumsi sebesar 29,37 juta ton sehinggga SUR berada di level 27,78%.
“Ketiga, BPS mencatat harga beras eceran menurun 0,12 persen pada Agustus dan berlanjut menurun 0,06 persen pada September 2020. Ini menunjukkan sentimen pasar yang tidak mengalami langka pasok. Artinya, sentimen pasar beras positif stabil,” terang Pantjar.
Keempat, sebut Pantjar, produksi padi tidak menurun sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun berjalan. Kriteria ini didasarkan pada laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun dan kecenderungan penurun konsumsi beras per kapita sekitar 1,5% per tahun sehingga total konsumsi beras diperkirakan tetap.
“Konsumsi beras pada 2020 diperkirakan menurun sebagai akibat dari penurunan aktivitas ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 khususnya pada sektor rumah makan, restoran, katering, hotel, dan pariwisata yang banyak menggunakan beras. Dengan demikian, produksi beras 2020 diperkirakan tidak defisit,” kata dia.
Kelima, Pantjar menuturkan pertimbangan kunci pengambilan keputusan impor beras yakni prospek produksi padi dan kondisi sosial politik tahun depan. Sementara itu, BMKG dan Lembaga-Lembaga Meteorologi global telah menyatakan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang telah muncul sejak September 2020 dan diperkirakan akan berlangsung hingga April 2021.
“La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Artinya, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras,” tuturnya.