Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perdagangan mencatat sepanjang periode Januari-Agustus 2020, ekspor produk tekstil Indonesia ke Turki anjlok sebesar 49,79 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2019 menjadi senilai 168,9 juta dolar AS.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Marthin Simanungkalit mengatakan secara keseluruhan ekspor produk tekstil Indonesia ke seluruh dunia juga merosot cukup tajam sebesar 19,92 persen menjadi 7,03 miliar dolar AS.
"Ekspor ke Turki 168,9 juta dolar AS selama Januari-Agustus 2020, anjlok 49,79 persen dibanding periode sama tahun lalu sebesar 336,3 juta dolar AS. Ini patut jadi perhatian terlebih Turki merupakan tujuan ekspor tekstil keenam setelah AS, Jepang, China, Korea Selatan dan Jerman," katanya dalam webinar Ekspor Produk Tekstil Indonesia ke Turki: Tantangan dan Peluang di Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Dalam upaya melindungi pasar dalam negerinya, Turki pada April lalu menerapkan additional duties terhadap beberapa produk impor, termasuk produk tekstil. Additional duties tersebut bervariasi mulai dari 4 persen hingga 50 persen. Kebijakan tersebut awalnya bersifat sementara dengan masa berlaku hingga 30 September 2020. Namun, Turki memperpanjang kebijakan tersebut hingga akhir Desember 2020.
Bea masuk tambahan itu berlaku bagi negara yang belum memiliki perjanjian perdagangan bilateral dengan Turki, di mana Indonesia termasuk di antaranya.
"Turki secara hati-hati menerapkan penambahan tarif tersebut sehingga tetap berada di bawah bound tariff WTO. Postur tarif yang fleksibel inilah yang membuat kebijakan tarif Turki tidak dapat digugat melalui WTO karena tidak ada aturan yang dilanggar," katanya.
Baca Juga
Marthin menjelaskan Turki termasuk negara yang lihai mengelola kebijakan perdagangannya. Turki hanya mengikatkan 50,5 tarif bea masuk impornya kepada WTO. Dari keseluruhan pos tarif negara tersebut, 43 persen diantaranya merupakan produk industri.
"Artinya, sejumlah 49,5 persen pos tarif Turki tidak dikonsesikan bea masuknya kepada WTO. Dengan demikian Turki bebas menaikkan atau menurunkan bea masuk impor tersebut sesuai kepentingan nasionalnya tanpa digugat oleh negara anggota WTO lain," jelasnya.
Sejak 2014, Turki juga telah menaikkan tarif rata-rata 26 persen untuk produk furnitur, peralatan medis, perkakas, besi, baja, alas kaki, karpet dan tekstil. Hal itu dilakukan untuk melindungi produk lokal dan meningkatkan penerimaan negara.
"Tidak mengherankan ketika pandemi, Turki mengaktivasi instrumen tarif sebagai salah satu kebijakan extra ordinary untuk selamatkan industri dalam negeri mereka," katanya.