Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Permintaan Pengembang Apersi di Tengah Tekanan Covid-19

Apersi berharap pemerintah segera merealisasikan usulan dalam program baru PEN. Adapun usulan tersebut Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang ditanggung pemerintah pusat.
AIlustrasi perumahan bersubsidi. / Kementerian PUPR
AIlustrasi perumahan bersubsidi. / Kementerian PUPR

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) meminta agar pemerintah segera merealisasikan usulan dalam program baru PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) dan memberikan kebijakan tambahan agar sektor properti dapat survive pada saat pandemi Covid-19.

Sekjen DPP Apresi Daniel Djumali mengatakan pandemi Covid-19 ini sangat berdampak pada sektor perumahan terutama hunian kelas menengah ke bawah.

Dia berharap pemerintah dapat segera merealisasikan usulan dalam program baru PEN. Adapun usulan tersebut Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ditanggung pemerintah pusat.

Lalu payment holiday atau pembebasan pembayaran angsuran pokok dan bunga untuk KPR maksimal Rp500 juta pada masa pandemi Covid-19.

"Kami juga berharap tarif BPHTB bagi rumah sederhana (RS), rumah sangat sederhana (RSS), dan rumah subsidi segera diturunkan dari 5 persen menjadi 1 persen, serta penurunan BPHTB untuk rumah murah smart home bagi masyarakat di bawah Rp500 juta BPHTB dari 5 persen menjadi 2 persen," ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (20/10/2020).

Selain itu, diharapkan adanya penurunan tarif SSP-PPh Final dari 5 persen menjadi 2 persen untuk rumah murah smart home bagi masyarakat menengah bawah pascanormal baru atau protokol kesehatan dengan harga di bawah Rp500 juta.

"Kami juga berharap bunga kredit konstruksi rendah bagi pengembang rumah subsidi bagi MBR dan rumah di bawah Rp500 juta," kata Daniel.

Selain usulan program dalam PEN, Apersi berharap ada kebijakan untuk mendorong sektor properti seperti program restrukturisasi dan relaksasi kredit yang lebih jelas dan terukur.

"Optimasi Regional Processing Center (RPC) dan penyederhanaan proses verifikasi dokumen konsumen sehingga bisa segera terbit persetujuan KPR perbankan," ucap Daniel.

Dia mengakui ada kemudahan aturan perbankan dan dari Kementerian PUPR untuk karyawan kontrak dan wiraswasta, tetapi sulit atau hampir tidak bisa konsumen karyawan kontrak dan wiraswasta/UMKM memperoleh KPR subsidi/MBR akibat aturan perbankan dan PUPR.

Para pengembang juga memerlukan relaksasi dan percepatan kredit dari perbankan untuk merealisasikan pembangunan perumahan terutama untuk rumah subsidi bagi MBR dan rumah menengah bagi masyarakat yang memerlukan. "Ini karena cashflow terbatas.”

Selain itu, lanjutnya, diperlukan relaksasi kebijakan persyaratan harus sudah pecah sertifikat unit rumah bagi rumah subsidi/MBR. Apa lagi, sebagian besar kantor BPN/Agraria banyak yang tutup akibat PSBB atau WFH, berakibat tersendatnya proses pemisahan sertifikat unit sebagai salah satu persyaratan untuk akad KPR subsidi bagi MBR yang sangat memerlukan rumah.

"Sekarang juga kesulitan penyambungan daya listrik PLN atau kWh meter, terutama bagi rumah subsidi/MBR, karena kondisi cashflow PLN akibat pandemi Covid-19," tutur Daniel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper