Bisnis.com, JAKARTA — Pengembang panas bumi menilai sejumlah perubahan terkait dengan pengusahaan panas bumi dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja belum cukup untuk menggairahkan investasi di sektor pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Ketua Asosiasi Panas Bumi (API) Prijandaru Effendi mengatakan bahwa penyederhanaan perizinan usaha panas bumi dalam UU Cipta Kerja lebih ditujukan untuk pengembangan panas bumi untuk pemanfaatan langsung.
Adapun, pengembangan panas bumi untuk pembangkit listrik masuk dalam kategori pemanfaatan tidak langsung.
"Yang direct use disamakan dengan indirect use, semua (perizinan) ditarik ke atas [pemerintah pusat]. Kalau untuk PLTP tidak banyak perubahan, kan sama saja dengan UU Panas Bumi," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Selasa (20/10/2020).
Menurutnya, kunci untuk mendorong investasi pengembangan pembangkit panas bumi adalah kebijakan tarif jual listrik yang sesuai dengan keekonomian proyek.
Oleh karena itu, pengembang sangat menantikan terbitnya peraturan presiden mengenai tarif listrik dari pembangkit energi baru dan terbarukan (Perpres EBT).
"Kami menunggu itu perpres mengenai tarif. Kami berharap tarif itu bisa memberikan daya tarik ke pengembang," katanya.
Namun, Priyandaru tetap mengapresiasi pemerintah yang telah berinisiatif untuk menyederhanakan perizinan berusaha panas bumi. Pemangkasan perizinan setidaknya bisa mempercepat penyelesaian pembangunan proyek.
"Ini berarti cost berkurang dan income lebih cepat. Impact-nya bisa menurunkan harga jual listrik panas bumi sesuai dengan keekonomian proyek," katanya.
Dalam UU Cipta Kerja juga diatur terkait pemanfaatan tidak langsung panas bumi. Salah satu ketentuan dalam UU Panas Bumi yang diringkas dalam UU Cipta Kerja adalah ketentuan Pasal 24. Bunyi perubahan Pasal 24 sebagai berikut:
"Dalam hal kegiatan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung berada di kawasan hutan, pemegang perizinan berusaha terkait panas bumi wajib memenuhi perizinan berusaha di bidang kehutanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sebelumnya dalam UU Panas Bumi, bunyi ketentuan Pasal 24 sebagai berikut:
- Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) harus memuat ketentuan paling sedikit:
- nama Badan Usaha;
- nomor pokok wajib pajak Badan Usaha;
- jenis kegiatan pengusahaan;
- jangka waktu berlakunya Izin Panas Bumi;
- hak dan kewajiban pemegang Izin Panas Bumi;
- Wilayah Kerja; dan
- tahapan pengembalian Wilayah Kerja.
- Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Izin Panas Bumi wajib:
- mendapatkan:
- lzin pinjam pakai untuk menggunakan Kawasan Hutan produksi atau Kawasan hutan lindung; atau
- Izin untuk memanfaatkan Kawasan Hutan konservasi, dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan; dan
- melaksanakan kegiatan pengusahaan Panas Bumi dengan memperhatikan tujuan utama pengelolaan hutan lestari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Izin memanfaatkan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 dilakukan melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan.
Kemudian ketentuan Pasal 25 terkait dengan kewajiban pemegang Izin Panas Bumi untuk mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dalam hal kegiatan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung berada pada wilayah konservasi di perairan, dihapuskan dalam UU Cipta Kerja.