Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Presiden Ma`ruf Amin menilai hingga kini masih terdapat disharmonisasi aturan hukum tentang ekonomi syariah di Indonesia.
Dia menyebut sengketa kepailitan yang bersumber dari akad syariah sebagai contoh. Saat ini perkara tersebut masih diajukan dan diselesaikan oleh peradilan dalam lingkungan peradilan umum.
Ketentuan ini diatur berdasarkan UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Padahal, lanjut Wapres, sejak lahirnya UU No. 3/2006 dan putusan MK No 093/PUU-X/2012 pada 2013, penyelesaian sengketa syariah secara litigasu merupakan kewenangan peradilan agama.
Walhasil, seluruh sengketa keperdataan yang bersumber dari akad syariah bila diselesaikan melalui jalur litigasi, maka harus diajukan, diperiksa, diadili, dan diselesaikan oleh pengadilan agama, agar memenuhi prinsip-prinsip syariah.
“Dari sini terlihat adanya disharmonisasi aturan hukum tentang ekonomi syariah di Indonesia,” kata Wapres saat membuka Webinar Penguatan dan Penegakan Hukum Ekonomi Syariah yang Berkeadilan di Indonesia, Rabu (26/8/2020).
Wapres berpandangan bahwa RUU Kepailitan yang saat ini sedang dibahas di DPR sebaiknya diselaraskan dengan ketentuan peraturan bahwa sengketa terkait ekonomi Syariah merupakan kewenangan peradilan agama, termasuk tentang kepailitan.
Di sisi lain, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif itu meminta profesionalisme hakim peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syariah.
"Mahkamah Agung melalui Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari'ah secara litigasi, keberadaannya harus diperkuat lagi," tegas Wapres.