Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PHRI: Pengurangan Bandara Internasional Kontraproduktif, Maksudnya?

Saat ini, terdapat 30 bandara internasional yang dipertanyakan urgensinya. Padahal, sebanyak 90 persen lalu lintas terpusat di empat bandara.
Pesawat udara berada di kawasan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Jumat (8/3/2019)./ANTARA-Fikri Yusuf
Pesawat udara berada di kawasan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Jumat (8/3/2019)./ANTARA-Fikri Yusuf

Bisnis.com, JAKARTA — Wacana pemerintah memfokuskan penerbangan internasional di delapan bandara potensial superhub setelah Presiden Joko Widodo menilai jumlah bandara internasional di Indonesia terlalu banyak mendapat berbagai tanggapan.

Dalam rapat terbatas yang diselenggarakan di Istana Merdeka, Jakarta pada Kamis (6/8/2020), Presiden Jokowi mengatakan bahwa jumlah airline hub di Indonesia terlalu banyak dan tidak merata.

Saat ini, terdapat 30 bandara internasional yang dipertanyakan urgensinya. Padahal, sebanyak 90 persen lalu lintas terpusat di empat bandara, yakni Soekarno-Hatta Jakarta, Ngurah Rai Bali, Juanda Surabaya, dan Kualanamu Medan.

Ke depannya, kata Jokowi, ada delapan bandara yang berpotensi menjadi internasional hub sesuai dengan pembagian fungsi, kondisi geografis, dan karakteristik wilayah, yaitu Jakarta, Ngurah Rai, Juanda, Kualanamu, Sam Ratulangi, Yogyakarta, Balikpapan, dan Hassanudin.

Terkait dengan hal tersebut, Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan bahwa wacana pengurangan jumlah bandara internasional mesti disikapi dengan hati-hati.

Pasalnya, hal tersebut dinilai kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam memulihkan ekonomi pariwisata di Tanah Air karena hal tersebut berpotensi merugikan daerah destinasi wisata yang telah mengeluarkan belanja untuk akomodasi.

"Kalau jumlahnya dikurangi akan merugikan daerah. Apalagi kalau di daerah destinasi wisata tersebut sudah tersedia akomodasi-akomodasi," ujar Maulana kepada Bisnis, Kamis (6/8/2020).

Lebih jauh, hal tersebut juga dinilai berpotensi mengurangi mobilitas wisatawan yang justru harus dibangun dengan sejumlah strategi.

Setidaknya, terdapat dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, memberi stimulus dengan membebaskan biaya rapid test dan polymerase chain  reaction test sehingga mobilisasi wisatawan menjadi lebih mudah.

Kedua, meningkatkan okupansi hotel dengan memaksimalkan alokasi anggaran kegiatan pemerintah dengan tujuan memicu kepercayaan diri masyarakat untuk berwisata.

Peningkatan okupansi hotel di daerah destinasi wisata, jelasnya, otomatis menyerap kembali tenaga kerja yang kemudian turut berefek positif terhadap geliat perekonomian di sektor pariwisata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rahmad Fauzan
Editor : Zufrizal

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper